BAB I
SOAL MATERI STUDI NASKAH PENDIDIKAN ISLAM
PRODI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM DOKTOR
I.
Di antara prinsip prinsip Pendidikan Islam adalah:
1.
التطور
2.
الإنفتاح على
خبرات الجماعات الإنسانية المختلفة
3.
إستمرارية
التعلم
4.
الزامية
التعليم
5.
تكامل العلم
والإيمان
6.
تحديد ميدان
العقل بما يقع تحت الحث
Jelaskan
prinsip prinsip di atas lengkap dengan dalil!
II.
Al-Jarnuji sekitar (539-620 H) dalam kitab Ta’lim
Muta’allim menulis beberapa konsep tentang pembelajaran.
Bagaimana komentar saudara secara keseluruhan tentang
kitab tersebut?
Bagaimana pula saudara memahami teks teks di bawah ini
bila dipahami menurut teori modern dengan istilah istilah pendidikan dewasa
ini?
1.
ينبغى أن
يبتدئ بشيء يكون أقرب إلى فهمه كانوا يختارون للمتدي صغارات المبسوطة
2.
قال أبوا
حنيفة لأصحابه عضموا عمائمكم ووسعوا اكمامكم
3.
إن المتعلمين
كانوا فى الزمان الأول يتعلمون الحرفة ثم يتعلمون العلم حتى لا يطمعوا فى احوال
الناس
4.
وأما نسيان
العلم فأكل الكربزة الرطبة واتفاح الحامض
III.
Al-Ghazali (450-505 H) menguraikan ilmu secara panjang
lebar –tidak kurang tujuh bab- dalam jilid satu.
Dimulai dari keutamaan ilmu, keutamaan belajar dan
mengajar, ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela, dan lain sebagainya.
Pada jilid tiga pada uraian a’jaib al-qalb,
sedang menguraikan ruh, qalb dan akal, disinggung uraian perbedaan
antara ilham dan istidlal dan cara memperoleh pengetahuan atau
epistemologi.
Pertanyaan:
1.
Jelaskan tamtsil mahsus Al-Ghazali mengenai
perbedaan cara memperoleh ilm istidlal dan ilm ilham hingga mudah
ditangkap indera dan mudah dipahami!
2.
Pada akhir tulisan Al-Ghazali, beliau berkata:
فالإشتغال
بطريق التعلم أوثق وأقرب إلى الغرض
Jelaskan pokok pokok pikiran Al-Ghazali dalam teks di
atas!
3.
Kehawatiran apa yang tergambar dalam ungkapa
Al-Ghazali yang menghikayatkan pendapat an-nadhar (orang yang tajam
pikirannya) dalam teks di bawah ini sekitar ilmu melalui ilham?
إذا لم تنقدم رياضة
النفس وتهذيبها بحقائق العلوم نشبت بالقلب خيالات فاسدة تطمئن النفس إليها مدة
طويلة إلى أن يزول وينقضي العمر قبل النجاح فيها، فكم من صوفى سلك هذا الطريق ثم
بقي فى خيال واحد عشرين سنة ولو كان قد أتقن العلم من قبل لإنفتح له وجه التباس
ذالك الخيال
4.
Bandingkan pendapat beliau (Al-Ghazali) di atas dengan
kata kata Syaikh Junaid dan Abu Hasan Asy-Syadzili di bawah ini;
(1)
إن النكتة
لتقع فى قلبى من جهة الكشف فلا اقبلها إلا بشاهدى عدل الكتاب والسنة
(2)
إذا تعارض
كشفك صحيح الكتاب والسنة فدع الكشف وقل لنفسك إن الله ضمن للعصمة فى الكتاب والسنة
ولم يضمنها فى جانب الكشف والإلهام
5.
Jelaskan istilah di bawah ini;
(1)
منهج التربية
الإسلامية
(2)
خصائص منهج
التربية الإسلامية
(3)
مذهب فى
الطبيعة الإنسانية
(4)
علم النفس
الإسلامى وعلم النفس الغربى
(5)
من مبادئ
التربية الإسلامية: التربيةوالتطورـــ والإنفتاح لخبرات الجماعات المختلفةـــ
تحديد مجال العقل فى المحسوسة
Soal No 5 baca Prof Madkur dan Dr.
Arsan Kailani (Manhaj
At-Tarbiyah fi At Tashawwur Al-Islamiyah)!
BAB II
JAWABAN
MATERI STUDI NASKAH PENDIDIKAN ISLAM
PRODI
PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM DOKTOR
I.
Prinsip Prinsip Pendidikan Islam yakni; a. التطور,
b الإنفتاح على خبرات
الجماعات الإنسانية المختلفة,
c إستمراربة التعلم, d الزامية التعلم,
e تكامل العلم والإيمان, f تحديد ميدان العقل بما يقع تحت الحث- untuk masing masing penejelasannya sebagai berikut;
a)
التطور
Prinsip Pendidikan Islam yang pertama adalah التطور
artinya pengembangan. Pengembangan merupakan konsekuensi kehidupan, kehidupan
terus melakukan perkembangan, dalam ranah pendidikan pun ada proses
perkembangan seperti dari sekedar mengenal materi berkembang menjadi mengetahui
materi kemudian berlanjut pada pemahaman materi dan selanjutnya.
Prinsip perkembangan atau bisa disebut dengan
penyesuaian ini sudah jelas dipaparkan dalam Quran dan hadits, misal bahwa
kehidupan ini terus berkembang, dari masa dahulu (jahil), masa tradisional, dan
masa modern; merupakan bentuk fakta kisah kehidupan; di sini manusia harus
pintar pintar mampu mengintegrasikan, mensinergikan ke semua masa, tujuannya
adalah agar manusia tidak berpandangan myopic, tidak berpandangan sophis;
tetapi berpandangan luas dan komprehensip
penuh kebermaknaan hidup keseluruhan.
Maka Apakah Kami letih dengan penciptaan yang
pertama? sebenarnya mereka dalam Keadaan ragu-ragu tentang penciptaan
yang baru. (Q.S. Qaf: 15).
Rasulullah mendukung manusia melakukan pengembangan yang sifatnya
inovatif terhadap kajian atau temuan baru, dengan catatan bahwa segala akibat
yang ditimbulkan dari inovasi ini tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam
dan fitrah manusia.
من سن في الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب
له مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعمل
بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شيء
Siapa mentauladani perbuatan baik dalam Islam, maka
akan memperoleh pahala dan pahala yang mengamalkannya dan tidak sedikitpun
dikurangi pahalanya. Siapa mentauladani perbuatan buruk dalam Islam, maka akan
memperoleh dosa dan dosa yang mengamalkannya dan tidak sedikitpun dikurangi
dosanya. (H.R. Muslim)
Perkembangan dalam sisi prinsip pendidikan Islam
memiliki makna bahwa prinsip pendidikan Islam salah satunya adalah terus secara
istimrar melakukan pembaharuan ke arah pendidikan Islam yang lebih memudahkan
dalam mencapai tujuannya. Ketercapaian prinsip pengembangan ini harus berawal
dari kesungguhan penyelenggara pendidikan Islam, selama dalam perspektif
inovatif pendidikan yang positif-islami-humanistik.
b)
الإنفتاح على خبرات الجماعات الإنسانية المختلفة
Sikap terbuka
terhadap keadaan sosial yang sangat beragam merupakan salah satu prinsip
pendidikan Islam. keadaan manusia tiap daerah dengan berbagai perbedaan suku,
bangsa, bahasa, tsaqafah dan perbedaan lainnya; semuanya merupakan
bawaan alam ciptaan di dunia.
Quran dan
hadits lantang menyatakan akan prinsip keterbukaan dalam pendidikan;
Dan di atas tiap-tiap orang yang
berpengetahuan itu ada lagi yang Maha mengetahui. (QS. Yusuf: 76).
Dalam hadits
misalnya hadits dialog Musa dengan Allah swt yang isinya adalah pertanyaan;
siapakah dari hambamu yang lebih mengetahui? Allah berrkata bahwa dia adalah
yang mencari ilmu dari orang lain untuk khasanah keilmuannya untuk menemukan
kebenaran dan menolak kesalahan.
Prinsip
keterbukaan ini sangat penting untuk membuka cakrawala keilmuan dalam
pendidikan Islam.
Adapun
masalah keterbukaan pandangan sosial mengenai akidah Islam terbagi menjadi dua
sisi; 1) pemahaman terhadap kebaikan yang tersembunyi dan orisinalitas setiap
kelompok untuk pembangunan mereka dan manfaat darinya dalam dialog yang beredar
bersama humanity, 2) pemahaman terhadap perbuatan yang menyimpang dan penyakit
di setiap kelompok untuk didiagnosa dan dibatasi serta diminta penyembuhannya
atau penanganan yang menjadi solusinya. Dari inilah dapat dipahami visi Islam
yang baik, tujuannya adalah menyatukan rasa kemanusiaan dan mengumpulkannya
sebagai bentuk ubudiyah kepada Allah swt serta konsolidasi keselamatan
dan keamanan agar tidak terjadi fitnah dan agar menjadikan agama seluruhnya
kembali kepada agama Allah.
Selain itu, al-Quran telah
menggabarkan Yahudi dan Nasrani bahwa setiap bagian dari mereka mewajibkan
bersikap diam dari kelompok lain dan melarang untuk berdiskusi dan berpendapat
serta yang ada padanya dan menolaknya secara total, dan ketahuilah bahwa mereka
adalah orang-orang yang tertutup dan jumud. Firman Allah:
“Dan di antara mereka
ada orang-orang yang mau mendengarkanmu, padahal Kami telah menjadikan tutupan
di atas hati mereka agar mereka tidak memahaminya dan di telinga mereka Kami
letakkan sumbatan. Dan sekali pmr mereka melihat segala tanda kebenaran, mereka
tetep tidak mau beriman kepadanya. Selringga apabila mereka datang kepadamu
untuk membantalrmu, orang-orang kafir itu berkata: "Ini (al-Quran adalah
cerita- cerita bohong orang orang dalrulrt. Mereka melarang darinyadan mereka
sendiri menjauh darinya, dan tidaklah mereka itu membinasakan kecuali di.ri
mereka sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari” (Q.S. Al-An’am: 25).
Sikap keterbukaan terhadap
keberagaman yang berhubungan dengan akidah Islam, dan yang menjadi rujukan
terhadap pengalaman ini dapat membantu dua persoalan. Pertama,
mengetahui tempat kebaikan dan sumbernya disetiap komunitas guna menumbuh
kembangkan dan mengambil manfaatnya dalam bentuk diskusi dengan sesama orang. Kedua,
mengenal proses penyelewengan dan kesalahan disetiap komunitas, batasan, dan
solusinya. Semua itu membantu kebenaran tujuan jangka panjang yang dilakukan
demi dan oleh Islam, yaitu menyatukan manusia dan masyarakatnya agar beribadah
kepada Allah dan mengokohkan keselamatan dan keamanan sampai tidak ada fitnah
dan agama semuanya menjadi untuk Allah.
Dengan demikian, keterbukaan
terhadap keberagaman merupkan salah satu prinsip penting dalam pendidikan
Islam. Melalui keterbukaan-lah pendidikan Islam dapat lebih maju dan berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat saat ini. Selain itu
prinsip keterbukaan terhadap keberagaman juga merupakan suatu hal yang penting
demi menjadikan Pendidikan Islam sebagai solusi dari permasalahan-permasalahan
yang senantiasa berkembang di tengah-tengah masyarakat.
c)
إستمراربة التعلم
Belajar terus menerus atau biasa dikenal dengan long
life education (seumur hidup terus belajar), holistic; merupakan salah satu
prinsip urgen dalam pendidikan Islam, terlebih karena Islam dimaknai sebagai
pedoman hidup yang terus menerus dijalankan selama hidup.
Proses transfer dan transfor keilmuan Islam dalam tiap
diri manusia itu seperti halnya proses tumbuhan, menempuh berbagai macam
perkembangan dari mulai pengenalan Islam, mengetahui Islam, memahami Islam dan
akhirnya berpusat pada pengaplikasian Islam. tahap ini tidak lain ditempuh
dalam proses pendidikan Islam, baik melalui materi, pergaulan sosial, maupun
autodidak keluarga.
Sampai tua pun proses belajar tentang Islam saya
yakini masih jauh dari pemahaman Islam, kecuali hanya sekedar pengamalan solat
lima waktu dan ibadah mahdah lain, kadang kala hampir semua muslim teledor akan
Islam dalam sisi ghair mahdah yang memang menjadin pangkal diturunkannya Islam
di dunia pada akhir jaman ini yakni agar sebagai pemimpin dunia (manusia) bisa beretika
dengan etika yang baik (berakhlak soleh);
إِنَّمَا
بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ
Sesungguhnya saya (Muhammad) diutus
untuk membentuk akhlak soleh di dnuia (HR. Ahmad).
Ketika pun
akhlak soleh telah terbentuk dalam diri manusia, maka manusia itu harus membawa
dan mempraktekan nilai Islam ini selama hidupnya, artinya tidak terbatas pada
transfer keilmuan, melainkan juga transformasi keilmuan dan pembentukan budaya
Islam yang kekal (tsaqafah islamiyah); ini yang dimaksud prinsip
pendidikan Islam –terus menerus belajar-.
Orang yang berilmu dituntut untuk
mengembangkan ilmu, sebagaimana dalam Firman Allah:
“... Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku i.lmu
pengetahuan” (Q.S. Thaha: 114).
Seandainya seseorang menghayal
bahwa dia memiliki wawasan ilmu yang luas, maka di depannya ada yang lebih
banyak dari yang dia ketahui, sebagaimana dalam Firman Allah:
“dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Q.S. al-Israa: 85).
Dalam rangka peningkatan dan
pengembangan bidang keilmuan, tentunya perlu melaksanakan pembelajaran yang
berkelanjutan (kontinuitas). Kontinuitas dalam menuntut ilmu merupakan
prinsip yang mendasar dalam pendidikan Islam. Artinya bahwa setiap selesai
mempelajari sesuatu, hendaknya melanjutkannya kepada pelajaran yang tingkatnya
lebih tinggi dari yang sudah dipelajari sebelumnya agar ilmu tersebut dapat
terus berkembang serta melahirkan ilmu atau pengetahuan baru yang akan
memberikan manfaat serta kontribusi kepada yang lainnya.
d)
الزامية التعلم
Prinsip kewajiban untuk belajar atau biasa dikenal
dengan wajib belajar atau wajib menyampaikan ilmu hasil belajar
(belajar-mengajar) –kalau di Indonesia terbatas formal procedural pada 12
tahun-; secara umum apalagi dalam Islam prinsip ini sudah pasti menjadi hal
baku dalam menyusun prinsip prinsip kehidupan termasuk salah satunya dalam
bidang pendidikan Islam, tidak lain adalah untuk menjadi motivasi dan istimrar
melakukan perbaikan perbaikan dalam menjalani hidup yang sesuai dengan prosedur
Allah dan rasul-Nya.
حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيرُ
بْنُ شِنْظِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ
الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ
Sebagaimana terlihat dalam satu hadits nabi dalam
sunan Ibnu Majah juz 1 halaman 269 yakni bahwa mencari ilmu adalah satu
kewajiban bagi kehidupan orang Islam.
Prinsip ini disematkan dalam salah satu prinsip
pendidikan Islam karena tuntutan kita sebagai muslim yang menjalani hidup dari
nol yang belum tahu apa pun, dan muslim berpegangan dalam hidupnya pada dua
kitab abadi risalah rasul yakni Quran dan Hadits yang keduanya ini tidak mungkin
langsung dipahami semenjak kita lahir, pasti perlu tahapan untuk
mempelajarinya; di sinilah maka pendidikan Islam merupakan kewajiban muslim.
Bacalah
dengan nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS.
Al-Alaq: 1-5)
Dengan Quran muslim dapat mengaplikasikan apa yang
menjadi tuntunan Allah dalam kehidupan manusia di dunia, dengan Hadits, muslim
dapat meneladani apa yang seharusnya dilakukan di dunia ini; semuanya ada dalam
Quran dan Hadits yang Allah katakan sebagai sumber primer pengetahuan dan ilmu
Hasil belajar merupakan buah yang seharusnya manis dan
harus dibagikan manfaatnya, cara agar buah itu manis dan enak di makan secara
halal. Maksudnya, ilmu yang telah didapat mestilah kita bagikan pula kepada
muslim lain agar saling melengkapi secara positif-keilmuan.
Al-Quran al-Karim telah
mengungkapkan tentang haramnya seseorang belajar dengan borbohong dan
menyembunyikan ilmu. Sebagaimana dalam Firman Allah, yaitu:
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan dan petunjuk setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Alkitab,
mereka itu dikutuk olelr Allah” (Q.S. al-Baqarah: 159).
حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ الْحَكَمِ
عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ
نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ».
Siapa saja menyembunyikan ilmu
yang dipunyainya, maka Allah akan mengekangnya dengan api di hari kebangkitan.
(HR. Abu Daud).
Dari al-Quran surat al-baqarah ayat
159 dan hadits di atas, tentunya menjadi prinsip penting dalam pendidikan Islam
ialah menyebarluaskan ilmu. Menyebarluaskan ilmu merupakan hal yang tak
terpisahkan dari proses pendidikan Islam. Melalui penyebarluasan ilmu,
diharapkan akan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan peradaban,
karakter dan kualitas sumber daya manusia yang baik. Dengan demikian, Islam
begitu mengecam terhadap seseorang yang menyembunyikan ilmu.
e)
تكامل العلم والإيمان
Prinsip
selanjutnya adalah prinsip kesempurnaan antara ilmu dan iman, keduanya harus
seimbang-sempurna dalam diri muslim.
Dan
berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada
orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur)
menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; Maka Inilah hari berbangkit
itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya)." (QS. Rum: 56)
Alasan bahwa kesempurnaan ilmu
turun dari sumber yang menurunkan agama sudah tidak ada perselisihan. Firman
Allah:
“ia berkata: "Sesungguhnya
pengetahuan (tentang itu) hanya pada sisi Allah dan aku (hanya) menyampaikan
kepadamu apa yang aku diutus dengan membawanya tetapi aku Lihat kamu adalah
kaum yang bodoh". (Q.S. al-Ahqaaf: 23).
Karena itu dalam hal ini ilmu
adalah jalan menuju takwa kepada Allah Swt, sebagaimana dalam Firman Allah,
yaitu:
“dan demikian (pula) di antara
manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun. (Q.S. Faathir: 28).
Maka dengan demikian ilmu adalah
sarana untuk mengetahui kebenaran agama. Firman Allah:
“dan orang-orang yang
diberi ilmu (ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu Itulah yang hak (kebenaran) dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan
yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (Q.S. Saba: 6).
Membohongkan agama adalah penyebab
tidak adanya ilmu dan ketergesa- gesaan terhadap sumber hukum sebelum menguasai
aspek-aspek persoalan. Sebagaimana dalam Firman Allah, yaitu:
“Yang sebenarnya, mereka
mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna ..." (Q.S.
Yunus: 39).
Berdasarkan
ayat-ayat al-Quran di atas, terutama mengenai iman dan ilmu merupakan 2 (dua)
hal yang saling berhubungan erat serta berpengaruh positif satu sama lainnya.
Dengan mendalami ilmu secara maksimal, maka bisa dipastikan imannya pun akan
semakin dalam dan kuat. Dengan demikian, dalam rangka meningkatkan kualitas
keimanan, perlu didukung pula dengan peningkatan kualitas keilmuan. Maka pada
prinsipnya pendidikan Islam sangat terfokus pada pengembangan keilmuan dan
keimanan seseorang.
f)
تحديد ميدان العقل بما يقع تحت الحث
Prinsip memberi batas pada ranah logika yang ada di bawah empiris.
Al-Quran al-Karim menjadikan
belajar dan pengetahuan menjadi dua metode. Pertama, metode wahyu yang
membatasi hal-hal yang gaib yang tidak bisa dimasuki oleh wilayah penginderaan.
Kedua, metode eksperimen dan penelitian, objeknya adalah alam semesta
yang bias dimasuki wilayah penginderaan.
Al-Quran al-Karim menjadikan dua jenis metode, yaitu yang disubutkan dengan
hakikat yang bias dicapai melalui metode penelitian dan eksperimen dan
keyakinan yang ditetapkan dengan metode wahyu yang bersandar kepada yang telah
dijelaskan tentang kesempurnaan ilmu dan iman. Firman Allah:
“Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah
bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu?. (Q.S. Fushshilat: 53).
Rasul Saw telah memperkenalkan
akal manusia secara mutlak dan bebas dalam penelitian dan eksperimen dalam
wilayah ilmu alam yang berada di luar kenabian. Dari Anas bahwa Nabi Saw. melawati sebuah
kaum yang sedang menanam kurma, maka Nabi Saw. bersabda: "Seandainya bukan
karena kebaikan, beliau bersabda: “Maka keluarlah buah kurma dan rasul melewati
mereka”. Maka, rasul bersabda: “Apa yang
ada di pohon kurma kalian?" Mereka menjawab: "Saya berkata, begini
dan begini”. Rasul bersabda: “Kalian lebilr tahu tenteng urusan keduniaan
kalian” (HR Muslim).
Dari Hadis di atas, dengan jelas
menyatakan bahwa setiap muslim perlu memaksimalkan potensi yang ada dalam
dirinya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Hal ini menunjukan bahwa Islam
begitu menghendaki pentingnya penguasaan berbagai bidang keilmuan melalui upaya
peningkatan kualitas ilmi dan haraki.
II.
Al-Jarnuji sekitar
(539-620 H) dalam kitab Ta’lim Muta’allim menulis beberapa konsep
tentang pembelajaran. Bagaimana komentar
saudara secara keseluruhan tentang kitab tersebut? Bagaimana pula saudara memahami teks teks di
bawah ini bila dipahami menurut teori modern dengan istilah istilah pendidikan
dewasa ini?
ينبغى أن يبتدئ بشيء يكون أقرب إلى فهمه كانوا
يختارون للمتدي صغارات المبسوطة
قال أبوا حنيفة لأصحابه عضموا عمائمكم ووسعوا
اكمامكم
إن المتعلمين كانوا فى الزمان الأول يتعلمون
الحرفة ثم يتعلمون العلم حتى لا يطمعوا فى احوال الناس
وأما نسيان
العلم فأكل الكربزة الرطبة واتفاح الحامض
Kitab
berjudul “Ta’lim Muta’alim” karya Az-Zarnuji terdiri dari 13 Pasal.
Pasal Pertama ia menerangkan tentang hakikat ilmu, hukum, dan
keutamaannya; kedua, tentang niat dalam mencari ilmu; ketiga,
cara memilih ilmu, guru, dan ketekunan; keempat, cara menghormati ilmu
dan guru; kelima, kesungguhan dalam mencari ilmu, beristiqamah, dan
cita-cita yang luhur; keenam, ukuran dan urutan mencari ilmu; ketujuh,
tawakkal; kedelapan, waktu belajar ilmu; kesembilan, saling
mengasihi dan saling menasihati; kesepuluh, mencari tambahan ilmu
pengetahuan; kesebelas, bersikap wara’ ketika menuntut ilmu, keduabelas,
hal-hal yang dapat menguatkan hafalan dan melemahkannya; ketigabelas,
hal-hal yang mempermudah dan menghambat datangnya rezeki, dan hal-hal yang
dapat memperpanjang umur dan menguranginya.
Kitab ini merupakan kitab
yang sangat fenomenal yang didalamnya membahas mengenai konsep-konsep
pembelajaran, yang dapat memandu kita untuk lebih memahami tentang bagaimana
cara menuntut ilmu yang benar, niat dalam mencari ilmu, memilih dan memilah
ilmu, guru, dan teman, hingga apa yang perlu diperhatikan dalam menguatkan
hafalan dan melemahkannya.
Apabila dipahami melalui
teori modern dengan istilah-istilah pendidikan dewasa ini, maka dapat dipahami di
bawah ini, yaitu:
1.
(Bab: Mulai Mengaji,
ukuran dan urutannya) Sebaiknya dimulai dengan pelajaran yang lebih mudah dimengerti
atau difahami, untuk pemula mereka pilihkan kitab-kitab yang ringkas atau
kecil. Dalam pendidikan sekarang ini telah
diperoleh efisiensi tarap pendidikan yang diselenggarakan dalam proses tahap
sesuai perkembangan dengan proporsi yang sesuai pula. Step by step proses
pendidikan ini –contoh di Indonesia belajar alat di pesantren dimulai dengan
mempelajari mufrodat dan tasrif lugowi serta istilahi seraya di syairkan-;
lantas kemudian berlanjut untuk kelas satu di berikan kitab jurmiah, untuk kelas
dua diberikan kitab imriti dan maqsud, untuk kelas tiga diberikan kitab alfiyah
dan johar maknun. Ini semua contoh penahapan dalam memulai setiap pendidikan,
tidak bisa langsung eksperimen naik tingkat lanjut sebelum melewati tingkat
amatir.
2.
(Bab: Niat dalam Mencari Ilmu). (Abu Hanifah berkata: Besarkan Surban dan
besarkan lengan baju kalian, agar ilmu dan orang yang berilmu tidak diremehkan.
Dalam pendidikan masa kini, maksud niat lebih identik dengan kesungguhan tekad,
majaz melonggarkan lengan baju artinya adalah keterbukaan untuk menerima ilmu
positif sebanyak yang kita bisa. Tidak sedikit niat kesungguhan mencari ilmu
sekarang ini merosot, malah berubah niat sekedar menyelesaikan formalitas wajib
belajar 12 tahun saja, masalah keilmuan dan masa depan islam dalam dirinya sama
sekali tidak diperhatikan, tidak heran banyak generasi muda berpendidikan malah
terjerumus dalam dunia narkoba, seks bebas, gradasi moral dan kurang sekali
nasionalisme, mereka anggap bahwa hidup ini adalah sebebas bebasnya dan senyaman
nyamannya tanpa melihat kembali nilai ajaran agama yang mereka anut, hanya
cukup dengan pikiran sebatas menikmati kehidupan saja, na’udubillah.
3.
(Bab: Mulai Mengaji, ukuran dan urutannya). Para pelajar pada zaman dahulu belajar
bekerja, kemudian belajar ilmu pengetahuan, sehingga mereka tidak tamak dengan keadaan
orang lain. Mencari ilmu bertujuan untuk memahamkan pikiran dan supaya bisa
hidup di dunia ini dengan mandiri. Dengan ilmu pengetahuan, pemahaman kita
pasti bertambahan,masalah social, individu, alam; semuanya bisa dipahami dengan
bijak. Inti dari ilmu adalah menjadikan diri bisa mandiri dan bisa memahami apa
yang seharusnya diperbuat dan apa yang seharusnya dijauhi.
4.
(Bab: Hal-hal yang dapat menguatkan hafalan dan
melemahkannya). Hal-hal yang
menyebabkan cepat lupa hapalan ialah makan ketumbar basah dan makan apel yang
kecut (masam). Dalam dunia pendidikan sekarang ini, masalah mitos ketumbar
basah dan apel mentah yang kita makan sudah lama tidak dipercayai. Sekarang ini
mitos di atas cenderung bahasa majaz yang di peri bahasakan sekarang seperti
ini, ketika bumbu masak belum diracik menjadi masakan, ya jangan dulu di makan;
begitupun buah ketika belum matang, ya jangan di makan karena belum enak.
Inilah makna dari mitos di atas, artinya untuk memanen, mekanan ilmu itu jika
ingin buahnya manis, enak di makan, maka ilmu itu harus diraih dan diracik
secara sempurna, harus sematang matangnya kita mendapatkan ilmu, barulah buah
ilmu akan diraih.
III.
Al-Ghazali (450-505 H) menguraikan ilmu secara panjang
lebar –tidak kurang tujuh bab- dalam jilid satu. Dimulai dari keutamaan ilmu,
keutamaan belajar dan mengajar, ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela, dan
lain sebagainya. Pada jilid tiga pada uraian a’jaib al-qalb, sedang
menguraikan ruh, qalb dan akal, disinggung uraian perbedaan antara ilham
dan istidlal dan cara memperoleh pengetahuan atau epistemologi.
Pertanyaan: (1) Jelaskan tamtsil mahsus Al-Ghazali
mengenai perbedaan cara memperoleh ilm istidlal dan ilm ilham
hingga mudah ditangkap indera dan mudah dipahami! (2) Pada akhir tulisan
Al-Ghazali, beliau berkata: فالإشتغال بطريق
التعلم أوثق وأقرب إلى الغرض Jelaskan pokok pokok pikiran Al-Ghazali dalam teks di atas!
(3) Kehawatiran apa yang tergambar dalam ungkapan Al-Ghazali yang
menghikayatkan pendapat an-nadhar (orang yang tajam pikirannya) dalam
teks di bawah ini sekitar ilmu melalui ilham? إذا
لم تنقدم رياضة النفس وتهذيبها بحقائق العلوم نشبت بالقلب خيالات فاسدة تطمئن
النفس إليها مدة طويلة إلى أن يزول وينقضي العمر قبل النجاح فيها، فكم من صوفى سلك
هذا الطريق ثم بقي فى خيال واحد عشرين سنة ولو كان قد أتقن العلم من قبل لإنفتح له
وجه التباس ذالك الخيال (4) Bandingkan pendapat beliau
(Al-Ghazali) di atas dengan kata kata Syaikh Junaid dan Abu Hasan Asy-Syadzili
di bawah ini;
إن النكتة لتقع فى
قلبى من جهة الكشف فلا اقبلها إلا بشاهدى عدل الكتاب والسنة
إذا تعارض كشفك صحيح
الكتاب والسنة فدع الكشف وقل لنفسك إن الله ضمن للعصمة فى الكتاب والسنة ولم
يضمنها فى جانب الكشف والإلهام
1)
Perumpamaan
Ilmu dari ilham dan Ilmu dari Istidlal dalam teks
Tamsilan Mahsus Al-Ghazali terhadap perbedaan cara memperoleh
ilmu antara metode istidlali dan ilhami, agar mudah ditangkap
oleh indera dan dipahami sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Ihya
‘Ulumuddin, sebagai berikut:
Ilmu ilhami yaitu ilmu yang
dihasilkan bukan atas dasar usaha dan mencari dalil-dalil, sedangkan Ilmu
Istidlali yaitu ilmu yang dihasilkan atas dasar penggunaan dalil-dalil.
Adapun cara memperoleh Ilmu ilhami yaitu dengan cara langsung memasukan
ilmu tersebut ke dalam hati tanpa usaha dan belajar dari seorang hamba, baik
itu yang diketahui ataupun tidak, ilmu ilhami ini dikhususkan bagi para
nabi, wali dan al-muhktar (pilihan Allah atau ma yasya’).
Sedangkan ilmu istidlali cara memperolehnya yaitu dengan menggunakan
pendahuluan untuk mencapai hasil dan menggunakan dalil-dalil untuk mencapai
kesimpulan, atau dengan kata lain memperoleh ilmu tersebut atas dasar belajar,
berfikir (merenung), berdialog, melakukan penelitian dan sejenisnya. Ilmu
istidlali ini dikhususkan bagi para ulama. Cara yang digunakan Al-Ghazali
dalam menjelaskan ilmu Istidlali dan Ilhami agar mudah ditangkap
oleh indera dan mudah dipahami. Keajaiban hati
berada di luar kemampuan inderawi, karena hati berada di luar kemampuan panca indera,
dan apa yang digunakan oleh kemampuan inderawi pemahamannya akan menjadi lemah
atas kemampuannya, kecuali dengan contoh-contoh inderawi, untuk mendekatkan
kepada pemahaman-pemahaman yang lemah yaitu dengan mengedepankan dua contoh.
Pertama Al-Ghazali mengumpamakan
bahwa hati itu laksana kolam, dan ilmu itu laksana air, sedangkan indera yang
lima diumpamakan sungai, ilmu tersebut dapat sampai pada hati melalui
sungai-sungai indera yang lima dengan cara pengamatan-pengamatan sehingga hati
tersebut penuh dengan ilmu, dan mungkin juga sungai-sungai tersebut tersumbat
oleh perbuatan khalwat, ‘uzlah, dan menundukan pandangan yang
dapat membersihkan jiwanya, dan mengangkat penghalang tersebut, sehingga
terpancarlah sumber-sumber ilmu tersebut dari dalam hati. Keajaiban hati tidak
boleh disebutkan dalam hal ilmu mu’amalah, akan tetapi kadar yang
mungkin disebutkan ialah bahwa segala sesuatu itu telah ditulis di lauh al-mahfud
bahkan sampai pada hati para malaikat. Seperti diumpamakan seorang arsitek
menggambar bangunan rumah pada kertas putih kemudian diwujudkan sesuai dengan
yang aslinya, maka seperti itu pula penciptaan langit dan bumi yang dari awal
sampai akhir sudah ditulis di laul al-mahfud, kemudian dikeluarkannya
pada wujud gambaran tersebut membawa bentuk lain pada indera dan hayalan. Barang siapa yang melihat langit dan bumi,
kemudian matanya ditutup, maka ia akan melihat gambaran langit dan bumi dalam
hayalannya, seakan-akan ia melihatnya, dan kalaupun langit dan bumi tersebut
tidak ada, maka akan tertanam dalam jiwanya akan ada gambaran langit dan bumi
seolah-olah ia menyaksikan dan melihatnya, kemudian dari khayalan tersebut
membawa bekas pada hati, maka keberhasilan hati tersebut merupakan
hakikat-hakikat sesuatu yang masuk pada indera, hayalan, dan hasil dari hati,
sesuai dengan alam hasil dari hayalan, hasil dari hayalan tersebut sesuai
dengan alam yang ada pada dirinya diluar hayalan manusia, hati, dan alam yang
ada sesuai dengan gambaran yang ada di lauh al-mahfud, maka seolah-olah
alam mempunyai empat tingkat, pada “ada” yaitu ada pada lauh al-mahfud,
dan itu mendahului dari adanya jasmani, diikuti oleh adanya yang hakiki,
diikuti oleh adanya yang hakiki adanya hayalan, yakni adanya bentuk dalam
hayalan, dan adanya hayalan diikuti oleh adanya dalam fikiran, yakni ada
bentuknya dalam hati, sebahagian yang ada ini ialah ruhaniah, dan sebahagiannya
jasmaniyah dan ruhiyah, sebagiannya lebih kuat dari sebahagian yang lainnya,
dan ini adalah kehalusan dari hikmah ilahiyah.
Perbedaan antara ilmunya
para wali dan para nabi, serta ilmunya para ulama dan hukama, bahwa ilmu para
nabi dan wali berasal dari dalam hati yaitu dari pintu yang terbuka dari alam
malakut, dan ilmu-ilmu hikmah berasal dari pintu panca indera yang terbuka ke
alam muluk, dan keajaiban alam hati, penerimaannya antara alam syahadah dan
alam ghaib.
Kedua,
perbedaan diantara dua pekerjaan, yakni pekerjaan para ulama dan para wali.
Pekerjaan para ulama bekerja dalam mengusahakan ilmu itu sendiri dan menariknya
kedalam hati, sedangkan para wali sufi mereka bekerja dengan cara menjernihkan
hati, atau tazkiyah an-nafs saja. Perumpamaan yang dikedepankan oleh
Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumudin antara para wali dan ulama dalam memperoleh
ilmu, yaitu dengan mencontohkan pekerjaan orang Cina dan Orang Romawi, dalam
mengukir dan menggambar dihadapan raja. Raja tersebut memutuskan untuk
menggambar sesuatu. Orang Cina mengukir satu sisi dan orang Romawi mengukir
disisi lainnya, setelah pekerjaannya selesai diperiksalah oleh raja tersebut,
maka hasilnya sangat bagus, ternyata warna-warni yang indah dan ukiran-ukiran
berkilauan dengan semakin bersinar dan semakin jernih, karena mereka menggosok
selama pihak lainnya mengukir. Berdasarkan cerita tersebut, Para wali bekerja
dengan membersihkan, mencemerlangkan hati , dan tazkiyah an-nafs,
seperti yang diumpamakan orang Cina. Adapun pekerjaan para ulama dan hukama
yaitu dengan berusaha dan mengukir ilmu dan menghasilkan ukirannya dalam hati,
seperti yang dilakukan oleh orang Romawi. Bagaimanapun urusan permasalahan
tersebut, maka hati orang mukmin tidak akan mati, dan ilmunya orang mukmin
tidak akan terhapus dan kejernihan hatinya tidak akan pernah keruh.
2)
Pokok
Pikiran Al-Ghazali dalam teks
فَالْاِشْتِغَالِ بِطَرِيْقِ التَّعَلُّمِ أَوْثَقُ وَأَقْرَبُ إِلٰى
الْغَرْضِ. وَزَعَمُوْا أَنَّ ذٰلِكَ يُضَاهِيْ مَا لَوْ تَرَكَ الْإِنْسَانُ
تَعَلُّمَ الْفِقْهِ. وَزَعَمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَمْ يَتَعَلَّمْ ذٰلِكَ وَصَارَ فَقِيْهاً بِالْوَحْيِ. وَالْإِلْهَامُ مِنْ
غَيْرِ تَكْرِيْرٍ وَتَعْلِيْقٍ وَأَنَا أَيْضاً رُبَّمَا اِنْتَهَتْ بِيْ
الرِّيَاضَةُ وَالْمُوَاظَبَةُ إِلَيْهِ وَمَنْ ظَنَّ ذٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ
نَفْسَهُ وَضَيَّعَ عُمْرَهُ، بَلْ هُوَ كَمَنْ يَتْرُكُ طَرِيْقَ الْكَسْبِ
وَالْحَرَاثَةِ رَجَاۤءَ الْعُثُوْرِ عَلٰى كَنْزٍ مِنَ الْكُنُوْزِ، فَإِنَّ
ذٰلِكَ مُمْكِنٌ وَلٰكِنَّهُ بَعِيْداً جِدًّا؛ فَكَذٰلِكَ هٰذَا. وَقَالُوْا: لَا
بُدَّ أَوَّلاً مِنْ تَحْصِيْلِ مَا حَصَلَهُ الْعُلَمَاۤءُ وَفَهْمِ مَا
قَالُوْهُ ثُمَّ لَا بَأْسَ بَعْدَ ذٰلِكَ بِالْاِنْتِظَارِ لِمَا لَمْ يَنْكَشِفْ
لِسَاۤئِرِ الْعُلَمَاۤءِ فَعَسَاهُ يَنْكَشِفُ بَعْدَ ذٰلِكَ
بِالْمُجَاهَدَةِ.
Artiya menyibukan diri dengan belajar itu lebih kuat
dan lebih dekat kepada tujuan. Mereka mendakwa bahwa demikian itu menyerupai
apa yang jikalau seseorang meninggalkan belajar fikih dan ia mendakwa bahwa
Rasulullah tidak belajar fikih itu dan beliau menjadi ahli fikih dengan wahyu
dan ilham tanpa mengulang ulang dan catatan dan saya juga kadang kadang sampai
kepada demikian itu dengan latihan dan kerajinan. Barang siapa menduga
demikian, niscaya ia telah menganiaya dirinya dan mensia siakan umurnya. Bahkan
ia seperti orang yang meninggalkan jalan usaha dan bertani dengan harapan
memperoleh suatu simpanan harta. Maka sesungguhnya demikian itu mungkin
terjadi, tetapi itu jauh sekali. Maka begitulah ini. Mereka mengatakan bahwa
tidak boleh tidak pertama pertama menghasilkan apa yang dihasilkan oleh para
ulama dan memahami apa yang dikatakan mereka, kemudian tidak mengapa setelah
itu menunggu apa yang tidak tersingkap bagi ulama ulama lain. Mudah mudahan
setelah itu hal tersebut tersingkap dengan mujahadah.
Kesimpulannya
bahwa menyibukan waktu dengan cara belajar itu lebih terpercaya dan mendekati
pada tujuan. Pokok pikiran Al-Ghazali pada kalimat
tersebut, ialah membedakan antara wali Allah dengan ahli nahzhor dalam
hal mengungkapkan kebenaran. Para ahli tasawuf cenderung terhadap ilmu-ilmu
ilhamai tanpa melalui ilmu-ilmu yang dipelajari, oleh karena itu mereka tidak
bersungguh-sungguh mempelajari ilmu-ilmu yang dikarang oleh para pengarang,
peneliti, serta dalil-dalil, akan tetapi mereka lebih mendahulukan pada cara mujahadah,
membersihkan sifat-sifat tercela, serta memutuskan semua hubungan yang bersifat
keduniaan. Sedangkan bagi para ahli nadzor yang memiliki pemikiran,
untuk lebih menyibukan waktunya dengan cara belajar, karena dengan belajar akan
lebih terpercaya dan mendekatkan pada tujuan yang dimaksud.
3)
Kehawatiran
Al-Ghazali dalam teks
وَإِذَا
لَمْ تَتَقَدَّمْ رِيَاضَةُ النَّفْسِ وَتَهْذِيْبِهَا بِحَقَاۤئِقِ الْعُلُوْمِ
نَشَبَتْ بِالْقَلْبِ خَيَالَاتٌ فَاسِدَةٌ تَطْمَئِنُّ النَّفْسُ إِلَيْهَا
مُدَّةً طَوِيْلَةً إِلٰى أَنْ يَزُوْلَ وَيَنْقَضِيَ الْعُمْرُ قَبْلَ النَّجَاحِ
فِيْهَا، فَكَمْ مِنْ صُوْفِيٍّ سَلَكَ هٰذَا الطَّرِيْقَ ثُمَّ بَقِيَ فِيْ
خَيَالٍ وَاحِدٍ عِشْرِيْنَ سَنَةً وَلَوْ كَانَ قَدْ أَتْقَنَ اْلعِلْمَ مِنْ
قَبْلُ لَانُفْتَحُ لَهُ وَجْهُ الْتِبَاسِ ذٰلِكَ الْخَيَالِ فِيْ الْحَالِ
“apabila
tidak didahului oleh latihan jiwa dan pendidikannya, dengan hakikat keilmuan,
niscaya tumbuh pada hati hayalan-hayalan yang merusak, yang akan tenang jiwa
kepadanya pada masa yang panjang, sampai ia hilang dan berlalulah umur sebelum
memperoleh kemenangan pada yang demikian. Banyak orang-orang sufi yang
menjalani jalan ini. Kemudian ia kekal dalam satu hayalan selama 21 tahun,
jikalau ia sudah meneguhkan pengetahuannya dari sebelumnya, niscaya terbukalah
sekarang juga segi kesangsian itu”.
Dari pendapat an-nadzor
di atas, mengenai kekhawatiran yang
muncul pada Al-Ghazali, dapat dipahami bahwa seseorang yang tajam pikirannya mengenai ilmu melalui
ilham ialah: ketika hakikat perolehan ilmu tersebut tidak diawali dengan cara
melatih jiwa dan pendidikannya, dapat menjadikan ilmu tersebut hanya sebagai
hayalan-hayalan yang dapat merusak hatinya dan ketenangan jiwanya pada masa
yang akan datang, sebelum ia berhasil mendapatkannya. Oleh karena itu, apabila seseorang akan mempelajari ilmu
tertentuh harus menguasai terlebih dahulu ilmu-ilmu yang ringan serta dibarengi
dengan melatih jiwa melalui proses pendidikan yang sesuai dengan petunjuk dalam
al-Quran atau Sunnah.
4)
Pendapat
Al-Ghazali dan Perkataan Junaid, HAsan Asy-Syadili
a. “Sesungguhnya
titik hitam (dosa) yang berada pada hati -dari aspek kasyaf-, tentu tidak akan
menerimanya, kecuali menyaksikan sendiri atas keseimbangan yang ada dalam kitab
dan sunnah”.
b.
“Jika
kasyaf bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah, tinggalkanlah kasyaf dan
berpeganglah pada Al-Quran dan Sunnah. Katakan pada dirimu: Sesungguhnya Allah
SWT menjamin keselamatan saya dalam kitabnya dan sunnah rasulnya dari
kesalahan, bukan dari kasyaf, ilham, maupun musyahadah sebelum mencari
kebenarannya dalam al-Quran dan sunnah terlebih dahulu”.
Berdasarkan dua pendapat di atas, maka pada prinsipnya sama, yaitu
apabila seseorang akan mempelajari ilmu pengetahuan tertentu harus terlebih
dahulu penguatan jiwa seseorang agar tidak terjadi hal-hal yang bertentangan
dengan al-Quran dan Sunnah. Sehingga apabila ada orang yang menguasai ilmu
tertentu yang bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah maka segeralah
untuk membuangnya dan segera berpegang teguhlah pada al-Quran dan Sunnah agar
diselmatkan oleh Allah SWT.
Kesimpulannya,
metodologi untuk mencapai taraf keilmuan-baik melalui kasyf maupun mencari ilmu
dengan proses belajar-mengajar-itu harus sesuai dengan prosedur dalam Quran dan
Hadits Muhammad. Cara cara untuk kasyf itu apa saja dan bagaimana tahapannya;
ada dalam Quran dan Hadits. Begitupun untuk memperoleh ilmu melalui proses
belajar-mengajar pun sama harus paham Quran dan Hadits. Artinya pencegahan noda
hitam dalam hati ini bisa lebih dini dilakukan sejak lahir dengan memahami,
mempelajari Quran dan Hadits, karena dengan sendirinya (paham Quran dan Hadits)
noda hitam akan dihindari sendiri karena tahu larangan apa dan kewajiban apa
yang ada dalam Quran dan Hadits, mana yang seharusnya dilaksanakan seperti
sholat, berakhlak baik dalam kehidupan, berusaha dalam kasab, dan akan
meninggalkan apa yang semestinya ditinggalkan seperti berdiam tidak berusaha,
putus asa, hanya berdikir saja tanpa sholat dan tanpa berakhlak baik.
Kesimpulannya bahwa perolehan ilmu semestinya dilakukan melalui dua metodologi
di atas, yakni dengan ilham dan dengan belajar, sebagai muslim saya memastikan
akan berdampak jauh lebih baik dibanding hanya memberlakukan salah satunya
saja, dengan catatan bahwa segala aktifitas, kegiatan yang dilakukan dalam
upaya ilham dan belajar ini harus sesuai dengan ajaran dan nilai Quran dan
Hadits.
5)
Istilah
istilah dalam kitab Manhaj Tarbiyah
(1)
منهج التربية
الإسلامية
المنهج
التربوي هو مجموع الخبرات والأنشطة التى تقدمها المدرسة تحت إشرافها للتلاميذ بقصد
احتكاكهم بها وتفاعلهم معها، ومن نتائج هذه الإحتكاك والتفاعل يحدث تعلم أو تعديل
في سلوكهم، ويؤدي هذا إلى تحقيق النمو الشامل المتكامل الذي هو الأسمى للتربية.
أما المنهج
التربية الإسلامية نظام من الحقائق والمعايير والقيم الإلهية الثابتة، والمعارف
والخبرات والمهارات الإنسانية المتغيره التى تقدمها مؤسسة تربوية إسلامية إلى
المتعلمين فيها، بقصد إيصالهم إلى درجات الكمال التى هيأهم الله لها، وبذلك
يستطيعون القيام بحق الخلافة في الأرض عن طريق الإسهام بإيجابية وفاعلية في
عمارتها وترقية الحياة على ظهرها وفق منهج الله. إن منهج التربية الإسلامية
"نظام" نابع من التصور الإسلامي للكون والإنسان والحياة، أي أنه بمفهومه
وخصائصه، وأسس بنائه، وعناصره يكون كل متكاملا، كل جزء فيه يتأثر ببقية الأجزاء،
ويؤثر فيه.
(2)
خصائص منهج
التربية الإسلامية
أما
الخصائص منهج التربية الإسلامية فهي كما يلي:
أولا:
الربانية.
يقول
الدكتور يوسف القرضاوي: إن المراد من الربانية هنا أمران: ربانية المصدر والمنبع وربانية
الوجهة والغاية. المراد بالربانية المصدر والمنبع أن مقومات النظام الإسلامي نظام
رباني "صادر من الله للإنسان وليس من صنع الإنسان". الإسلام هو منهج
الله الذي تحكم به الحياة، وهو من خلق الله. وأما ربانية الوجهة والغاية كما قال
يوسف القرضاوى أن الإسلام يجعل غايته الأخيرة وهدفه البعيد، وهو حسن الصلة بالله
تبارك وتعالى والحصول على مرضاته. أن الإسلام غاية الوجود كله هي عبادة الله. بناء
على ما سبق، فإن يترتب على الكون المنهج الإسلامي منهجا رباني المصدر والغاية، أنه
منهج كامل متكامل، لا يقبل تنمية ولا تكميلا.
إن منهج
التربية الإسلامية كمنهج الإسلامي العام، منهج رباني في مصدره وغايته، ولذلك فهو
يزود الإنسان (المتعلم) بمجموعة الحقائق والمعايير والقيم الثابتة التى توجه عمله
ونشاطه، بل وتعينه على عمارة الأرض وترقيتها وفق منهج الله.
ثانيا: التوحيد
الخاصية
الثانية من خواص منهج التربية في الإسلام خاصية التوحيد، التوحيد هو المقوم الأول
للنظام الإسلامي، فو حقيقة أساس في العقيدة الإسلامية. وبالتوحيد يتفرد للنظام أو
المنهج الإسلامي من بين سائر النظم والمناهج الإعتقادية والفلسفية السائدة في
الأرض. التوحيد كان هو البارجة في كل دين جاء به من الله ورسوله. كما أنه كان
"المقوم الأول" في دين الله كله.
ثالثا:
العالمية
الخاصية
الثالثة من خواص منهج التربية في الإسلام العالمية. فالإسلام عقيدة ونظام الحكم
الحياة. ولما كانت هذه العقيدة ربانية المصدر والغاية، وإنسانية الطابع، وخاتمة
الرسالات السماوية، فهي عالمية. معنى
عالمية الإسلام أنه دعوة للجميع البشر، دعوة ليست عنصرية، ولا قومية، ولا محدود
بحدود جغرافية أو إقليمية أو وقته.
رابعا:
الثبات
الخاصية
الثالثة من خواص منهج التربية في الإسلام هي الثبات. ويسمى أستاذ سيد قطب هذه
الخاصية "الحركة داخل إطار ثابت وحول محور ثابت". فبما أن نظام الإسلامي
نظام رباني، قائم على التوحيد، وظيفة الإنسان فيه هي التلقي والإستجابة والتكييف
والتطبيق في واقع الحياة، وبما أنه ليس نتاج فكر بشري، وأنه هبة من خالق الإنسان
للإنسان.... بما أنه كل ذلك، فهو يتميز بأنه نظام يقوم على "الحركة داخل إطار
ثابت حول محور ثابت". ومن الجوانب الثابتة التى تمثل "المحور
الثابت" الذي يدور حوله المنهج الإسلامي: كل ما يتعلق بالحقيقة الإلهية:
كحقيقة وجود الله، وسرمديته، ووحدانيته، وقدرته، وتدبيره لأمر الخلق. وحقيقة أن
الكون كله من خالق الله وإبدعه. وحقيقة العبودية لله، وحقيقة أن الإيمان بالله،
وملائكته وكتبه ورسله، واليوم الآخر، والقدر خيره وشره، شرط لصحة الأعمال وقبولها.
خامسا:
الشمول
الشمول هو
طابع الصنعة الإلهية. وللشمول صور ثلاث:
أولى هذه
الصورة وأكبرها رد الوجود كله بنشأته ابتداء، وحركته بعد نشأته، وكل انبثاقة فيه،
وكل تحور وكل تغيير وكل تطور، والهيمنة عليه وتدبيره وتصريفه وتنسيقه إلى إرادة
الذات الإلهية السرمديه الأزلية الأبدية المطلقة....
الصورة
الثانية من صور خاصة الشمول في المنهج الإسلامي، هي أن النظام الإسلامي يتناول
الحقائق الكلية كلها: حقيقة الألوهية، وحقيقة الكون، وحقيقة الحياة، وحقيقة
العبودية، وحقيقة الإنسانية – ويربط بين مجموع تلك الحقائق، من جميع جوانبها، في
تصور واحد منطقي فطري شامل، يتعامل مع بديهة الإنسان وفكره ووجدانه، ومع مجموع
الكينونة البشرية في كل متكامل.
الصورة
الثالثة من صور خاصة الشمول هي أن المنهج الإسلامي يخاطب الكينونة الإنسانية بكل
جوانبها، وبكل أشواقها، وبكل حاجتها وبكل اتجاهتها.
سادسا:
التوازن
التوازن هو
الخاصية السادسة في النظام الإسلامي ومنهج التربية في الإسلام. وخاصية
"التوازن" مترابطة مع خاصية "الشمول". فالنظام الإسلامي هو
نظام شامل، وهو شمول متوازن.
للتوازن
عدة صورة أهمها مايلي:
-
التوازن بين ما يدركه
الإنسان فيسلم به، وينتهي عمله فيه عند التسليم، وبينما يتلقاه الإنسان فيدركه،
ويبحث عن علله وبراهينه وغايته، ويفكر في مقتضياته العملية وتطبيقها في حياة
الواقيعية.
-
التوازن بين طلاقة
المشيئة الإلهية، وثبات السنن الكونية.
-
التوازن بين مجال
المشيئة الإلهية الطليقة، ومجال المشيئة الإنسانية المحدودة، وهي القضية المشهورة
باسم قضية "القضاء والقدرة" أو الجبر والاختيار.
-
التوازن بين عبودية
الإنسان المطلقة لله، ومقام الإنسان الكريم في الكون.
-
التوازن بين مصادر
المعرفة، بين التلقي من الوحي والنص، والتلقي من الكون الحياة.
سابعا:
الإيجابية
للإيجابية
صورتان- كما يقول الأستاذ سيد قطب-: الإيجابية الفاعلة في علاقة الله بالكون
والحياة والإنسان، والإيجابية الفاعلة من ناحية الإنسان ذاته، في حدود مجاله
الإنساني.
الصورة
الأولى: في التصور الإسلامي ليس هناك شك في إيجابية الله –سبحانه- في علاقته
بخلائقه كلها، ومنها الإنسان. فالإنسان "في التصور الإسلامي"يتعامل مع
إله موجود، خالق، مدبر، مهيمن، قادر، فعال لما يريد ... كامل الإيجابية والفاعلية
إليه يرجع الأمر كله.
الصورة
الثانية: أيجابية الإنسان في الكون، وإيجابية المؤمن بهذه العقيدة في واقع الحياة
على وجه خاص.
ثامنا:
الواقعية
الواقعية
أي التحقيق في عالم الواقع. فالمنهج الإسلامي هنا "يتعامل مع الحقائق
الموضوعية، ذات الوجود الحقيقي المؤكد، والأثر الواقعي الإيجابي. لا مع الصورات
عقلية مجردة ولا مع مثاليات لا مقابل لها في عالم الواقع؛ أو لاوجود لها في عالم
الواقع.
(3)
مذهب فى
الطبيعة الإنسانية
الطبيعة في
المصطلح الغربي الذي قامت عليه مدارس علم النفس هناك: فهي الأشياء المادية
المحسوسة حولنا من جماد وحيوان ونبات، ففي الإصطلاح اليوناني: الفيزيقا هي
الطبيعة، و"الميتافيزيقا" ما وراء الطبيعة أي الأمور الغيبية وغير
المحسوسة. كما يقول الدكتور محمد رشاد خليل
فقد أخدت الطبيعة معاني فلسفية لدي فلاسيفة الإغريق، وأصبحت هي الأساس في
الفكر الغربي الحديث.
الطبيعة هي
الجوهر المادي الأول الذي تصنع منه الأشياء، وهذا الجواهر المادي هو أصل الوجود،
والعلة الأولى في وجود هذا الكون وهي عند أفلاطون المثال، وعلة الوجود، والنفس
الكلية. وعند أرسطو هي أصل الأشياء ومصدر الحركة والمادة التي صنع منها الأشياء.
وقد استخدمت الفلسفات الغربية الحديثة مفهوم الطبيعة بهذا المعنى الإغريقي القديم،
فالطبيعيون والمثاليون والواقعيون يرون "الطبيعة هي الأشياء"، وهي
القانون الطبيعي الذي يعمل في الأشياء. والطبيعة هي أصل الأشياء.
فاالطبيعة
في الفلسفات الغربية ومدارس علم النفس القائمة عليها ليست من خلق الله، بل هي
خالقة الكون وسبب وجود الأول.
الإنسان
عند فرويد وعند التحليليين وعند الطبيعيين وعموما، فليس هو الإنسان المخلوق من
الله، بل هو الحيوان المتطور عن الطبيعة التى هي أصل الأشياء وسبب وجودها، وهذا ما
تدعيه نظرية التطور التى لا تعدوا.
الخير
والشر في الطبيعة الإنسان
لقد اختلفت
الفلسفات حول ما إذا كانت الطبيعة الإنسانية خيره أم شريرة. ويمكن بلورة الآراء
التى طرحت في ثلاث نظريات مختلفة، فهي كما يلي:
الطبيعة
الإنسانية شريرة:
اعتقد بعض
الفلاسفة الغربيين أن الطبيعة الإنسان طبيعة شريرة أصلا، وأن الإنسان شرير بطبيعة
غرائزه المتأصلة فيه، كما أن رغباته شريرة أكثر منها خيرة، ولهذا إذا ما تركناه حر
يفعل ما يشاء، فإن سوف يسلك طريق السر لا محالة.
الطبيعة
الإنسانية خيرة:
وهناك من
الفلاسفة وعلى رأسهم سقراط- من نظر إلى الطبيعة البشرية على أن خيرة أصلا، وأن
المجتمع هو المسئول عن كل مظاهر الشر والظلم في النفس البشرية، فغرائز الإنسان
واستعدادته تقوده إلى فعل الخير والحق دائما. وقد قام هذا الاقتراض عند هؤلاء
الفلاسفة على أساس أنه لا يمكن تصور أن الطبيعة الإنسانية التى نفخ الله فيها من
روحه تكون شيئا مختلفا عن ذات الله.
الطبيعة
الإنسانية إما سامية وإما وضيعية:
يقول محمد
أحمد كريم، وهو يجمع في مجملة بين النظرتين السابقتين، إذا يعتبر أن الطبيعة
الإنسانية هبة، وأن القلة قد وهبوا طبيعة إنسانية سامية، بينما الكثرة قد وهبت
طبيعة الإنسانية تتسم بالوضاعة والشر.
(4)
علم النفس
الإسلامى وعلم النفس الغربى
النفس في
الإسلام هي جمع شخصية الإنسان. أما علم النفس الحديث فليس للانسان نفس مخلوق،
وإنما له نفس طبيعة تصنعها الظروف والمؤثرات الخارجية.
إن علم
النفس الإسلامي يتصادم مع علم النفس الغربي لاختلافتها في المصدر وفي الغاية، حيث
إن علم النفس الإسلامي يتعامل مع الإنسان المخلوق الذى هو من خلق الله، في حين
يتعامل علم النفس الغربي مع الإنسان الطبيعي الذي جاء نتيجة تطور الأحياء. وعلم
النفس الإسلامي يتعامل النفس المخلوقة من مركب الروح والجسد متفاعلين، لكن علم
النفس الغربي يتعامل مع النفس الطبيعة التى تصنعها الظروف والمؤثرات الخارجية. إذا
كان علم النفس الإسلامي العام والتربوي قد صدرا من علم شامل محيط بالنفس الإنسانية
من الأبد إلى الأزل، لأنه صادر من الخالق الذى يعلم من خلق وما تكون عليه أحواله
في كل زمان ومكان، فإنه في علم النفس الغربي قد اعتمد على آراء ونظريات شتى.
(5)
من مبادئ
التربية الإسلامية: التربيةوالتطورـــ والإنفتاح لخبرات الجماعات المختلفةـــ
تحديد مجال العقل فى المحسوسة
أ.
التربية والتطور
التطور سنة
من سنن الحياة، وأن الله سبحانه وتعالى لا يتوقف عن إحداث الجديد في الكون ﴿كل يوم
هو في شأن﴾، ولذلك يتوجب على الإنسان أن يتخطى حاجز الألفة والعادة ويتكيف مع
الجديد من ﴿شؤون الله﴾ وإلا وقع في الخيرة والإضطراب. والأسلوب القرآني في هذا
المجال يستغل الخبرات البشرية ليتدرّج الإنسان إلى ضرورة التكييف مع الجديد، فإذا
كان ما ألفوا له بداية وأمكن حدوثه، فإن ما لم يألفوا يمكن حدوثه. والرسول الله
صلى الله عليه وسلم لم يمنع استحدث ما يوافق هذا التطور، وانما اشترط أن يكون
المستحدث الجديد موافقا للأصول الإسلاميّة حتى لا يصدم بسنن الخليقة
ب.
والإنفتاح على خبرات
الجماعات الإنسانية المختلفة
يبدو هذا
الانفتاح واضحا في قوله تعالى ﴿وفوق كل ذي علم عليم﴾
الاِنفتاح
على خبرات الجماعات الأخرى يرتبط مع عقيدة الإسلام نفسها، فمراجعة هذه الخبرات يساعد على أمرين:
الأوّل التّعرّف على مكامن الخير وأصوله في كلّ جماعة لتنميتها والإستفادة منها في
الحوار الدائر مع الإنسانية. والثاني التعرف على عوامل الانحراف والمرض في كل
جماعة لشخصية وتحديد وسائل علاجه. وكل ذلك يساعد على تحقيق الأهداف البعيدة التى
يعمل الإسلام من أجلها وهي توحيد الإنسانية واجتماعها على عبادة الله وتوطيد
السلام والأمن حتى لا تكون فتنة ويكون الدين كله الله.
ج.
تحديد ميدان العقل بما
يقع تحت الحس
يجعل
القرآن الكريم للتعلم والمعرفة منهجين: منهج الوحي ومنهج التجربية. أما منهج الوحي
وهو يقتصر على الغيبيات التى لا تدخل تحت دائرة الحس. والقرآن الكريم يجعل نوعا من
التلاحم بين المنهجين، فهو يستغل الحقائق التى يتوصل إليها منهج البحث والتجربة
لدعم المبادئ المعتقدات التى يقررها منهج الوحي مستندا بذلك إلى ما ذكرناه عن
تكامل العلم والإيمان.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar