Selasa, 15 Maret 2016

TUGAS SEMESTER I MAKUL STUDI NASKAH PENDIDIKAN ISLAM



BAB I
SOAL MATERI STUDI NASKAH PENDIDIKAN ISLAM
PRODI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM DOKTOR

I.               Di antara prinsip prinsip Pendidikan Islam adalah:
1.         التطور
2.         الإنفتاح على خبرات الجماعات الإنسانية المختلفة
3.         إستمرارية التعلم
4.         الزامية التعليم
5.         تكامل العلم والإيمان
6.         تحديد ميدان العقل بما يقع تحت الحث
Jelaskan prinsip prinsip di atas lengkap dengan dalil!
II.             Al-Jarnuji sekitar (539-620 H) dalam kitab Ta’lim Muta’allim menulis beberapa konsep tentang pembelajaran.
Bagaimana komentar saudara secara keseluruhan tentang kitab tersebut?
Bagaimana pula saudara memahami teks teks di bawah ini bila dipahami menurut teori modern dengan istilah istilah pendidikan dewasa ini?
1.        ينبغى أن يبتدئ بشيء يكون أقرب إلى فهمه كانوا يختارون للمتدي صغارات المبسوطة
2.        قال أبوا حنيفة لأصحابه عضموا عمائمكم ووسعوا اكمامكم
3.        إن المتعلمين كانوا فى الزمان الأول يتعلمون الحرفة ثم يتعلمون العلم حتى لا يطمعوا فى احوال الناس
4.        وأما نسيان العلم فأكل الكربزة الرطبة واتفاح الحامض
III.           Al-Ghazali (450-505 H) menguraikan ilmu secara panjang lebar –tidak kurang tujuh bab- dalam jilid satu.
Dimulai dari keutamaan ilmu, keutamaan belajar dan mengajar, ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela, dan lain sebagainya.

 
Pada jilid tiga pada uraian a’jaib al-qalb, sedang menguraikan ruh, qalb dan akal, disinggung uraian perbedaan antara ilham dan istidlal dan cara memperoleh pengetahuan atau epistemologi.
Pertanyaan:
1.             Jelaskan tamtsil mahsus Al-Ghazali mengenai perbedaan cara memperoleh ilm istidlal dan ilm ilham hingga mudah ditangkap indera dan mudah dipahami!
2.             Pada akhir tulisan Al-Ghazali, beliau berkata:
فالإشتغال بطريق التعلم أوثق وأقرب إلى الغرض
Jelaskan pokok pokok pikiran Al-Ghazali dalam teks di atas!
3.             Kehawatiran apa yang tergambar dalam ungkapa Al-Ghazali yang menghikayatkan pendapat an-nadhar (orang yang tajam pikirannya) dalam teks di bawah ini sekitar ilmu melalui ilham?
إذا لم تنقدم رياضة النفس وتهذيبها بحقائق العلوم نشبت بالقلب خيالات فاسدة تطمئن النفس إليها مدة طويلة إلى أن يزول وينقضي العمر قبل النجاح فيها، فكم من صوفى سلك هذا الطريق ثم بقي فى خيال واحد عشرين سنة ولو كان قد أتقن العلم من قبل لإنفتح له وجه التباس ذالك الخيال                                                                  
4.             Bandingkan pendapat beliau (Al-Ghazali) di atas dengan kata kata Syaikh Junaid dan Abu Hasan Asy-Syadzili di bawah ini;
(1)    إن النكتة لتقع فى قلبى من جهة الكشف فلا اقبلها إلا بشاهدى عدل الكتاب والسنة
(2)    إذا تعارض كشفك صحيح الكتاب والسنة فدع الكشف وقل لنفسك إن الله ضمن للعصمة فى الكتاب والسنة ولم يضمنها فى جانب الكشف والإلهام
5.             Jelaskan istilah di bawah ini;
(1)    منهج التربية الإسلامية
(2)    خصائص منهج التربية الإسلامية
(3)    مذهب فى الطبيعة الإنسانية
(4)    علم النفس الإسلامى وعلم النفس الغربى
(5)    من مبادئ التربية الإسلامية: التربيةوالتطورـــ والإنفتاح لخبرات الجماعات المختلفةـــ تحديد مجال العقل فى المحسوسة
Soal No 5 baca Prof Madkur dan Dr. Arsan Kailani (Manhaj At-Tarbiyah fi At Tashawwur Al-Islamiyah)!

BAB II
JAWABAN MATERI STUDI NASKAH PENDIDIKAN ISLAM
PRODI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM DOKTOR

I.               Prinsip Prinsip Pendidikan Islam yakni; a. التطور, b الإنفتاح على خبرات الجماعات الإنسانية المختلفة, c إستمراربة التعلم, d الزامية التعلم, e تكامل العلم والإيمان, f تحديد ميدان العقل بما يقع تحت الحث- untuk masing masing penejelasannya sebagai berikut;

a)             التطور
Prinsip Pendidikan Islam yang pertama adalah التطور artinya pengembangan. Pengembangan merupakan konsekuensi kehidupan, kehidupan terus melakukan perkembangan, dalam ranah pendidikan pun ada proses perkembangan seperti dari sekedar mengenal materi berkembang menjadi mengetahui materi kemudian berlanjut pada pemahaman materi dan selanjutnya.
Prinsip perkembangan atau bisa disebut dengan penyesuaian ini sudah jelas dipaparkan dalam Quran dan hadits, misal bahwa kehidupan ini terus berkembang, dari masa dahulu (jahil), masa tradisional, dan masa modern; merupakan bentuk fakta kisah kehidupan; di sini manusia harus pintar pintar mampu mengintegrasikan, mensinergikan ke semua masa, tujuannya adalah agar manusia tidak berpandangan myopic, tidak berpandangan sophis; tetapi berpandangan luas dan komprehensip penuh kebermaknaan hidup keseluruhan.
Maka Apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama? sebenarnya mereka dalam Keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru. (Q.S. Qaf: 15).
Rasulullah mendukung manusia melakukan pengembangan yang sifatnya inovatif terhadap kajian atau temuan baru, dengan catatan bahwa segala akibat yang ditimbulkan dari inovasi ini tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam dan fitrah manusia.
من سن في الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شيء                                     
Siapa mentauladani perbuatan baik dalam Islam, maka akan memperoleh pahala dan pahala yang mengamalkannya dan tidak sedikitpun dikurangi pahalanya. Siapa mentauladani perbuatan buruk dalam Islam, maka akan memperoleh dosa dan dosa yang mengamalkannya dan tidak sedikitpun dikurangi dosanya. (H.R. Muslim)
Perkembangan dalam sisi prinsip pendidikan Islam memiliki makna bahwa prinsip pendidikan Islam salah satunya adalah terus secara istimrar melakukan pembaharuan ke arah pendidikan Islam yang lebih memudahkan dalam mencapai tujuannya. Ketercapaian prinsip pengembangan ini harus berawal dari kesungguhan penyelenggara pendidikan Islam, selama dalam perspektif inovatif pendidikan yang positif-islami-humanistik.

b)             الإنفتاح على خبرات الجماعات الإنسانية المختلفة
Sikap terbuka terhadap keadaan sosial yang sangat beragam merupakan salah satu prinsip pendidikan Islam. keadaan manusia tiap daerah dengan berbagai perbedaan suku, bangsa, bahasa, tsaqafah dan perbedaan lainnya; semuanya merupakan bawaan alam ciptaan di dunia.
Quran dan hadits lantang menyatakan akan prinsip keterbukaan dalam pendidikan;
Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha mengetahui. (QS. Yusuf: 76).
Dalam hadits misalnya hadits dialog Musa dengan Allah swt yang isinya adalah pertanyaan; siapakah dari hambamu yang lebih mengetahui? Allah berrkata bahwa dia adalah yang mencari ilmu dari orang lain untuk khasanah keilmuannya untuk menemukan kebenaran dan menolak kesalahan.
Prinsip keterbukaan ini sangat penting untuk membuka cakrawala keilmuan dalam pendidikan Islam.
Adapun masalah keterbukaan pandangan sosial mengenai akidah Islam terbagi menjadi dua sisi; 1) pemahaman terhadap kebaikan yang tersembunyi dan orisinalitas setiap kelompok untuk pembangunan mereka dan manfaat darinya dalam dialog yang beredar bersama humanity, 2) pemahaman terhadap perbuatan yang menyimpang dan penyakit di setiap kelompok untuk didiagnosa dan dibatasi serta diminta penyembuhannya atau penanganan yang menjadi solusinya. Dari inilah dapat dipahami visi Islam yang baik, tujuannya adalah menyatukan rasa kemanusiaan dan mengumpulkannya sebagai bentuk ubudiyah kepada Allah swt serta konsolidasi keselamatan dan keamanan agar tidak terjadi fitnah dan agar menjadikan agama seluruhnya kembali kepada agama Allah.
Selain itu, al-Quran telah menggabarkan Yahudi dan Nasrani bahwa setiap bagian dari mereka mewajibkan bersikap diam dari kelompok lain dan melarang untuk berdiskusi dan berpendapat serta yang ada padanya dan menolaknya secara total, dan ketahuilah bahwa mereka adalah orang-orang yang tertutup dan jumud. Firman Allah:
“Dan di antara mereka ada orang-orang yang mau mendengarkanmu, padahal Kami telah menjadikan tutupan di atas hati mereka agar mereka tidak memahaminya dan di telinga mereka Kami letakkan sumbatan. Dan sekali pmr mereka melihat segala tanda kebenaran, mereka tetep tidak mau beriman kepadanya. Selringga apabila mereka datang kepadamu untuk membantalrmu, orang-orang kafir itu berkata: "Ini (al-Quran adalah cerita- cerita bohong orang orang dalrulrt. Mereka melarang darinyadan mereka sendiri menjauh darinya, dan tidaklah mereka itu membinasakan kecuali di.ri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari” (Q.S. Al-An’am: 25).
Sikap keterbukaan terhadap keberagaman yang berhubungan dengan akidah Islam, dan yang menjadi rujukan terhadap pengalaman ini dapat membantu dua persoalan. Pertama, mengetahui tempat kebaikan dan sumbernya disetiap komunitas guna menumbuh kembangkan dan mengambil manfaatnya dalam bentuk diskusi dengan sesama orang. Kedua, mengenal proses penyelewengan dan kesalahan disetiap komunitas, batasan, dan solusinya. Semua itu membantu kebenaran tujuan jangka panjang yang dilakukan demi dan oleh Islam, yaitu menyatukan manusia dan masyarakatnya agar beribadah kepada Allah dan mengokohkan keselamatan dan keamanan sampai tidak ada fitnah dan agama semuanya menjadi untuk Allah.
Dengan demikian, keterbukaan terhadap keberagaman merupkan salah satu prinsip penting dalam pendidikan Islam. Melalui keterbukaan-lah pendidikan Islam dapat lebih maju dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat saat ini. Selain itu prinsip keterbukaan terhadap keberagaman juga merupakan suatu hal yang penting demi menjadikan Pendidikan Islam sebagai solusi dari permasalahan-permasalahan yang senantiasa berkembang di tengah-tengah masyarakat.

c)             إستمراربة التعلم
Belajar terus menerus atau biasa dikenal dengan long life education (seumur hidup terus belajar), holistic; merupakan salah satu prinsip urgen dalam pendidikan Islam, terlebih karena Islam dimaknai sebagai pedoman hidup yang terus menerus dijalankan selama hidup.
Proses transfer dan transfor keilmuan Islam dalam tiap diri manusia itu seperti halnya proses tumbuhan, menempuh berbagai macam perkembangan dari mulai pengenalan Islam, mengetahui Islam, memahami Islam dan akhirnya berpusat pada pengaplikasian Islam. tahap ini tidak lain ditempuh dalam proses pendidikan Islam, baik melalui materi, pergaulan sosial, maupun autodidak keluarga.
Sampai tua pun proses belajar tentang Islam saya yakini masih jauh dari pemahaman Islam, kecuali hanya sekedar pengamalan solat lima waktu dan ibadah mahdah lain, kadang kala hampir semua muslim teledor akan Islam dalam sisi ghair mahdah yang memang menjadin pangkal diturunkannya Islam di dunia pada akhir jaman ini yakni agar sebagai pemimpin dunia (manusia) bisa beretika dengan etika yang baik (berakhlak soleh);
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ
Sesungguhnya saya (Muhammad) diutus untuk membentuk akhlak soleh di dnuia (HR. Ahmad).
Ketika pun akhlak soleh telah terbentuk dalam diri manusia, maka manusia itu harus membawa dan mempraktekan nilai Islam ini selama hidupnya, artinya tidak terbatas pada transfer keilmuan, melainkan juga transformasi keilmuan dan pembentukan budaya Islam yang kekal (tsaqafah islamiyah); ini yang dimaksud prinsip pendidikan Islam –terus menerus belajar-.
Orang yang berilmu dituntut untuk mengembangkan ilmu, sebagaimana dalam Firman Allah:
 “... Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku i.lmu pengetahuan” (Q.S. Thaha: 114).
Seandainya seseorang menghayal bahwa dia memiliki wawasan ilmu yang luas, maka di depannya ada yang lebih banyak dari yang dia ketahui, sebagaimana dalam Firman Allah:
“dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Q.S. al-Israa: 85).
Dalam rangka peningkatan dan pengembangan bidang keilmuan, tentunya perlu melaksanakan pembelajaran yang berkelanjutan (kontinuitas). Kontinuitas dalam menuntut ilmu merupakan prinsip yang mendasar dalam pendidikan Islam. Artinya bahwa setiap selesai mempelajari sesuatu, hendaknya melanjutkannya kepada pelajaran yang tingkatnya lebih tinggi dari yang sudah dipelajari sebelumnya agar ilmu tersebut dapat terus berkembang serta melahirkan ilmu atau pengetahuan baru yang akan memberikan manfaat serta kontribusi kepada yang lainnya.

d)             الزامية التعلم
Prinsip kewajiban untuk belajar atau biasa dikenal dengan wajib belajar atau wajib menyampaikan ilmu hasil belajar (belajar-mengajar) –kalau di Indonesia terbatas formal procedural pada 12 tahun-; secara umum apalagi dalam Islam prinsip ini sudah pasti menjadi hal baku dalam menyusun prinsip prinsip kehidupan termasuk salah satunya dalam bidang pendidikan Islam, tidak lain adalah untuk menjadi motivasi dan istimrar melakukan perbaikan perbaikan dalam menjalani hidup yang sesuai dengan prosedur Allah dan rasul-Nya.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ شِنْظِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ
Sebagaimana terlihat dalam satu hadits nabi dalam sunan Ibnu Majah juz 1 halaman 269 yakni bahwa mencari ilmu adalah satu kewajiban bagi kehidupan orang Islam.
Prinsip ini disematkan dalam salah satu prinsip pendidikan Islam karena tuntutan kita sebagai muslim yang menjalani hidup dari nol yang belum tahu apa pun, dan muslim berpegangan dalam hidupnya pada dua kitab abadi risalah rasul yakni Quran dan Hadits yang keduanya ini tidak mungkin langsung dipahami semenjak kita lahir, pasti perlu tahapan untuk mempelajarinya; di sinilah maka pendidikan Islam merupakan kewajiban muslim.
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 1-5)
Dengan Quran muslim dapat mengaplikasikan apa yang menjadi tuntunan Allah dalam kehidupan manusia di dunia, dengan Hadits, muslim dapat meneladani apa yang seharusnya dilakukan di dunia ini; semuanya ada dalam Quran dan Hadits yang Allah katakan sebagai sumber primer pengetahuan dan ilmu 
Hasil belajar merupakan buah yang seharusnya manis dan harus dibagikan manfaatnya, cara agar buah itu manis dan enak di makan secara halal. Maksudnya, ilmu yang telah didapat mestilah kita bagikan pula kepada muslim lain agar saling melengkapi secara positif-keilmuan.
Al-Quran al-Karim telah mengungkapkan tentang haramnya seseorang belajar dengan borbohong dan menyembunyikan ilmu. Sebagaimana dalam Firman Allah, yaitu:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan dan petunjuk setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Alkitab, mereka itu dikutuk olelr Allah” (Q.S. al-Baqarah: 159).
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ الْحَكَمِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ».                                                                        
Siapa saja menyembunyikan ilmu yang dipunyainya, maka Allah akan mengekangnya dengan api di hari kebangkitan. (HR. Abu Daud).
Dari al-Quran surat al-baqarah ayat 159 dan hadits di atas, tentunya menjadi prinsip penting dalam pendidikan Islam ialah menyebarluaskan ilmu. Menyebarluaskan ilmu merupakan hal yang tak terpisahkan dari proses pendidikan Islam. Melalui penyebarluasan ilmu, diharapkan akan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan peradaban, karakter dan kualitas sumber daya manusia yang baik. Dengan demikian, Islam begitu mengecam terhadap seseorang yang menyembunyikan ilmu.

e)             تكامل العلم والإيمان
Prinsip selanjutnya adalah prinsip kesempurnaan antara ilmu dan iman, keduanya harus seimbang-sempurna dalam diri muslim.
Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; Maka Inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya)." (QS. Rum: 56)
Alasan bahwa kesempurnaan ilmu turun dari sumber yang menurunkan agama sudah tidak ada perselisihan. Firman Allah:
ia berkata: "Sesungguhnya pengetahuan (tentang itu) hanya pada sisi Allah dan aku (hanya) menyampaikan kepadamu apa yang aku diutus dengan membawanya tetapi aku Lihat kamu adalah kaum yang bodoh". (Q.S. al-Ahqaaf: 23).
Karena itu dalam hal ini ilmu adalah jalan menuju takwa kepada Allah Swt, sebagaimana dalam Firman Allah, yaitu:
dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Faathir: 28).
Maka dengan demikian ilmu adalah sarana untuk mengetahui kebenaran agama. Firman Allah:

“dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Itulah yang hak (kebenaran) dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (Q.S. Saba: 6).
Membohongkan agama adalah penyebab tidak adanya ilmu dan ketergesa- gesaan terhadap sumber hukum sebelum menguasai aspek-aspek persoalan. Sebagaimana dalam Firman Allah, yaitu: 
“Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna ..." (Q.S. Yunus: 39).
Berdasarkan ayat-ayat al-Quran di atas, terutama mengenai iman dan ilmu merupakan 2 (dua) hal yang saling berhubungan erat serta berpengaruh positif satu sama lainnya. Dengan mendalami ilmu secara maksimal, maka bisa dipastikan imannya pun akan semakin dalam dan kuat. Dengan demikian, dalam rangka meningkatkan kualitas keimanan, perlu didukung pula dengan peningkatan kualitas keilmuan. Maka pada prinsipnya pendidikan Islam sangat terfokus pada pengembangan keilmuan dan keimanan seseorang.

f)              تحديد ميدان العقل بما يقع تحت الحث
Prinsip memberi batas pada ranah logika yang ada di bawah empiris.
Al-Quran al-Karim menjadikan belajar dan pengetahuan menjadi dua metode. Pertama, metode wahyu yang membatasi hal-hal yang gaib yang tidak bisa dimasuki oleh wilayah penginderaan. Kedua, metode eksperimen dan penelitian, objeknya adalah alam semesta yang bias dimasuki wilayah  penginderaan. Al-Quran al-Karim menjadikan dua jenis metode, yaitu yang disubutkan dengan hakikat yang bias dicapai melalui metode penelitian dan eksperimen dan keyakinan yang ditetapkan dengan metode wahyu yang bersandar kepada yang telah dijelaskan tentang kesempurnaan ilmu dan iman. Firman Allah: 
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?. (Q.S. Fushshilat: 53).
Rasul Saw telah memperkenalkan akal manusia secara mutlak dan bebas dalam penelitian dan eksperimen dalam wilayah ilmu alam yang berada di luar kenabian. Dari Anas bahwa Nabi Saw. melawati sebuah kaum yang sedang menanam kurma, maka Nabi Saw. bersabda: "Seandainya bukan karena kebaikan, beliau bersabda: “Maka keluarlah buah kurma dan rasul melewati mereka”. Maka, rasul bersabda: “Apa yang ada di pohon kurma kalian?" Mereka menjawab: "Saya berkata, begini dan begini”. Rasul bersabda: “Kalian lebilr tahu tenteng urusan keduniaan kalian” (HR Muslim).
Dari Hadis di atas, dengan jelas menyatakan bahwa setiap muslim perlu memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Hal ini menunjukan bahwa Islam begitu menghendaki pentingnya penguasaan berbagai bidang keilmuan melalui upaya peningkatan kualitas ilmi dan haraki.

II.             Al-Jarnuji sekitar (539-620 H) dalam kitab Ta’lim Muta’allim menulis beberapa konsep tentang pembelajaran. Bagaimana komentar saudara secara keseluruhan tentang kitab tersebut? Bagaimana pula saudara memahami teks teks di bawah ini bila dipahami menurut teori modern dengan istilah istilah pendidikan dewasa ini?
ينبغى أن يبتدئ بشيء يكون أقرب إلى فهمه كانوا يختارون للمتدي صغارات المبسوطة
قال أبوا حنيفة لأصحابه عضموا عمائمكم ووسعوا اكمامكم
إن المتعلمين كانوا فى الزمان الأول يتعلمون الحرفة ثم يتعلمون العلم حتى لا يطمعوا فى احوال الناس
وأما نسيان العلم فأكل الكربزة الرطبة واتفاح الحامض
Kitab berjudul “Ta’lim Muta’alim” karya Az-Zarnuji terdiri dari 13 Pasal. Pasal Pertama ia menerangkan tentang hakikat ilmu, hukum, dan keutamaannya; kedua, tentang niat dalam mencari ilmu; ketiga, cara memilih ilmu, guru, dan ketekunan; keempat, cara menghormati ilmu dan guru; kelima, kesungguhan dalam mencari ilmu, beristiqamah, dan cita-cita yang luhur; keenam, ukuran dan urutan mencari ilmu; ketujuh, tawakkal; kedelapan, waktu belajar ilmu; kesembilan, saling mengasihi dan saling menasihati; kesepuluh, mencari tambahan ilmu pengetahuan; kesebelas, bersikap wara’ ketika menuntut ilmu, keduabelas, hal-hal yang dapat menguatkan hafalan dan melemahkannya; ketigabelas, hal-hal yang mempermudah dan menghambat datangnya rezeki, dan hal-hal yang dapat memperpanjang umur dan menguranginya.
Kitab ini merupakan kitab yang sangat fenomenal yang didalamnya membahas mengenai konsep-konsep pembelajaran, yang dapat memandu kita untuk lebih memahami tentang bagaimana cara menuntut ilmu yang benar, niat dalam mencari ilmu, memilih dan memilah ilmu, guru, dan teman, hingga apa yang perlu diperhatikan dalam menguatkan hafalan dan melemahkannya.
Apabila dipahami melalui teori modern dengan istilah-istilah pendidikan dewasa ini, maka dapat dipahami di bawah ini, yaitu:
1.             (Bab: Mulai Mengaji, ukuran dan urutannya) Sebaiknya dimulai dengan pelajaran yang lebih mudah dimengerti atau difahami, untuk pemula mereka pilihkan kitab-kitab yang ringkas atau kecil. Dalam pendidikan sekarang ini telah diperoleh efisiensi tarap pendidikan yang diselenggarakan dalam proses tahap sesuai perkembangan dengan proporsi yang sesuai pula. Step by step proses pendidikan ini –contoh di Indonesia belajar alat di pesantren dimulai dengan mempelajari mufrodat dan tasrif lugowi serta istilahi seraya di syairkan-; lantas kemudian berlanjut untuk kelas satu di berikan kitab jurmiah, untuk kelas dua diberikan kitab imriti dan maqsud, untuk kelas tiga diberikan kitab alfiyah dan johar maknun. Ini semua contoh penahapan dalam memulai setiap pendidikan, tidak bisa langsung eksperimen naik tingkat lanjut sebelum melewati tingkat amatir.
2.             (Bab: Niat dalam Mencari Ilmu). (Abu Hanifah berkata: Besarkan Surban dan besarkan lengan baju kalian, agar ilmu dan orang yang berilmu tidak diremehkan. Dalam pendidikan masa kini, maksud niat lebih identik dengan kesungguhan tekad, majaz melonggarkan lengan baju artinya adalah keterbukaan untuk menerima ilmu positif sebanyak yang kita bisa. Tidak sedikit niat kesungguhan mencari ilmu sekarang ini merosot, malah berubah niat sekedar menyelesaikan formalitas wajib belajar 12 tahun saja, masalah keilmuan dan masa depan islam dalam dirinya sama sekali tidak diperhatikan, tidak heran banyak generasi muda berpendidikan malah terjerumus dalam dunia narkoba, seks bebas, gradasi moral dan kurang sekali nasionalisme, mereka anggap bahwa hidup ini adalah sebebas bebasnya dan senyaman nyamannya tanpa melihat kembali nilai ajaran agama yang mereka anut, hanya cukup dengan pikiran sebatas menikmati kehidupan saja, na’udubillah.
3.             (Bab: Mulai Mengaji, ukuran dan urutannya). Para pelajar pada zaman dahulu belajar bekerja, kemudian belajar ilmu pengetahuan, sehingga mereka tidak tamak dengan keadaan orang lain. Mencari ilmu bertujuan untuk memahamkan pikiran dan supaya bisa hidup di dunia ini dengan mandiri. Dengan ilmu pengetahuan, pemahaman kita pasti bertambahan,masalah social, individu, alam; semuanya bisa dipahami dengan bijak. Inti dari ilmu adalah menjadikan diri bisa mandiri dan bisa memahami apa yang seharusnya diperbuat dan apa yang seharusnya dijauhi.
4.             (Bab: Hal-hal yang dapat menguatkan hafalan dan melemahkannya). Hal-hal yang menyebabkan cepat lupa hapalan ialah makan ketumbar basah dan makan apel yang kecut (masam). Dalam dunia pendidikan sekarang ini, masalah mitos ketumbar basah dan apel mentah yang kita makan sudah lama tidak dipercayai. Sekarang ini mitos di atas cenderung bahasa majaz yang di peri bahasakan sekarang seperti ini, ketika bumbu masak belum diracik menjadi masakan, ya jangan dulu di makan; begitupun buah ketika belum matang, ya jangan di makan karena belum enak. Inilah makna dari mitos di atas, artinya untuk memanen, mekanan ilmu itu jika ingin buahnya manis, enak di makan, maka ilmu itu harus diraih dan diracik secara sempurna, harus sematang matangnya kita mendapatkan ilmu, barulah buah ilmu akan diraih.

III.           Al-Ghazali (450-505 H) menguraikan ilmu secara panjang lebar –tidak kurang tujuh bab- dalam jilid satu. Dimulai dari keutamaan ilmu, keutamaan belajar dan mengajar, ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela, dan lain sebagainya. Pada jilid tiga pada uraian a’jaib al-qalb, sedang menguraikan ruh, qalb dan akal, disinggung uraian perbedaan antara ilham dan istidlal dan cara memperoleh pengetahuan atau epistemologi.
Pertanyaan: (1) Jelaskan tamtsil mahsus Al-Ghazali mengenai perbedaan cara memperoleh ilm istidlal dan ilm ilham hingga mudah ditangkap indera dan mudah dipahami! (2) Pada akhir tulisan Al-Ghazali, beliau berkata: فالإشتغال بطريق التعلم أوثق وأقرب إلى الغرض Jelaskan pokok pokok pikiran Al-Ghazali dalam teks di atas! (3) Kehawatiran apa yang tergambar dalam ungkapan Al-Ghazali yang menghikayatkan pendapat an-nadhar (orang yang tajam pikirannya) dalam teks di bawah ini sekitar ilmu melalui ilham? إذا لم تنقدم رياضة النفس وتهذيبها بحقائق العلوم نشبت بالقلب خيالات فاسدة تطمئن النفس إليها مدة طويلة إلى أن يزول وينقضي العمر قبل النجاح فيها، فكم من صوفى سلك هذا الطريق ثم بقي فى خيال واحد عشرين سنة ولو كان قد أتقن العلم من قبل لإنفتح له وجه التباس ذالك الخيال (4) Bandingkan pendapat beliau (Al-Ghazali) di atas dengan kata kata Syaikh Junaid dan Abu Hasan Asy-Syadzili di bawah ini; 
إن النكتة لتقع فى قلبى من جهة الكشف فلا اقبلها إلا بشاهدى عدل الكتاب والسنة
إذا تعارض كشفك صحيح الكتاب والسنة فدع الكشف وقل لنفسك إن الله ضمن للعصمة فى الكتاب والسنة ولم يضمنها فى جانب الكشف والإلهام
1)             Perumpamaan Ilmu dari ilham dan Ilmu dari Istidlal dalam teks
Tamsilan Mahsus Al-Ghazali terhadap perbedaan cara memperoleh ilmu antara metode istidlali dan ilhami, agar mudah ditangkap oleh indera dan dipahami sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, sebagai berikut:
Ilmu ilhami yaitu ilmu yang dihasilkan bukan atas dasar usaha dan mencari dalil-dalil, sedangkan Ilmu Istidlali yaitu ilmu yang dihasilkan atas dasar penggunaan dalil-dalil. Adapun cara memperoleh Ilmu ilhami yaitu dengan cara langsung memasukan ilmu tersebut ke dalam hati tanpa usaha dan belajar dari seorang hamba, baik itu yang diketahui ataupun tidak, ilmu ilhami ini dikhususkan bagi para nabi, wali dan al-muhktar (pilihan Allah atau ma yasya’). Sedangkan ilmu istidlali cara memperolehnya yaitu dengan menggunakan pendahuluan untuk mencapai hasil dan menggunakan dalil-dalil untuk mencapai kesimpulan, atau dengan kata lain memperoleh ilmu tersebut atas dasar belajar, berfikir (merenung), berdialog, melakukan penelitian dan sejenisnya. Ilmu istidlali ini dikhususkan bagi para ulama. Cara yang digunakan Al-Ghazali dalam menjelaskan ilmu Istidlali dan Ilhami agar mudah ditangkap oleh indera dan mudah dipahami. Keajaiban hati berada di luar kemampuan inderawi, karena hati berada di luar kemampuan panca indera, dan apa yang digunakan oleh kemampuan inderawi pemahamannya akan menjadi lemah atas kemampuannya, kecuali dengan contoh-contoh inderawi, untuk mendekatkan kepada pemahaman-pemahaman yang lemah yaitu dengan mengedepankan dua contoh.
Pertama Al-Ghazali mengumpamakan bahwa hati itu laksana kolam, dan ilmu itu laksana air, sedangkan indera yang lima diumpamakan sungai, ilmu tersebut dapat sampai pada hati melalui sungai-sungai indera yang lima dengan cara pengamatan-pengamatan sehingga hati tersebut penuh dengan ilmu, dan mungkin juga sungai-sungai tersebut tersumbat oleh perbuatan khalwat, ‘uzlah, dan menundukan pandangan yang dapat membersihkan jiwanya, dan mengangkat penghalang tersebut, sehingga terpancarlah sumber-sumber ilmu tersebut dari dalam hati. Keajaiban hati tidak boleh disebutkan dalam hal ilmu mu’amalah, akan tetapi kadar yang mungkin disebutkan ialah bahwa segala sesuatu itu telah ditulis di lauh al-mahfud bahkan sampai pada hati para malaikat. Seperti diumpamakan seorang arsitek menggambar bangunan rumah pada kertas putih kemudian diwujudkan sesuai dengan yang aslinya, maka seperti itu pula penciptaan langit dan bumi yang dari awal sampai akhir sudah ditulis di laul al-mahfud, kemudian dikeluarkannya pada wujud gambaran tersebut membawa bentuk lain pada indera dan hayalan.  Barang siapa yang melihat langit dan bumi, kemudian matanya ditutup, maka ia akan melihat gambaran langit dan bumi dalam hayalannya, seakan-akan ia melihatnya, dan kalaupun langit dan bumi tersebut tidak ada, maka akan tertanam dalam jiwanya akan ada gambaran langit dan bumi seolah-olah ia menyaksikan dan melihatnya, kemudian dari khayalan tersebut membawa bekas pada hati, maka keberhasilan hati tersebut merupakan hakikat-hakikat sesuatu yang masuk pada indera, hayalan, dan hasil dari hati, sesuai dengan alam hasil dari hayalan, hasil dari hayalan tersebut sesuai dengan alam yang ada pada dirinya diluar hayalan manusia, hati, dan alam yang ada sesuai dengan gambaran yang ada di lauh al-mahfud, maka seolah-olah alam mempunyai empat tingkat, pada “ada” yaitu ada pada lauh al-mahfud, dan itu mendahului dari adanya jasmani, diikuti oleh adanya yang hakiki, diikuti oleh adanya yang hakiki adanya hayalan, yakni adanya bentuk dalam hayalan, dan adanya hayalan diikuti oleh adanya dalam fikiran, yakni ada bentuknya dalam hati, sebahagian yang ada ini ialah ruhaniah, dan sebahagiannya jasmaniyah dan ruhiyah, sebagiannya lebih kuat dari sebahagian yang lainnya, dan ini adalah kehalusan dari hikmah ilahiyah.
Perbedaan antara ilmunya para wali dan para nabi, serta ilmunya para ulama dan hukama, bahwa ilmu para nabi dan wali berasal dari dalam hati yaitu dari pintu yang terbuka dari alam malakut, dan ilmu-ilmu hikmah berasal dari pintu panca indera yang terbuka ke alam muluk, dan keajaiban alam hati, penerimaannya antara alam syahadah dan alam ghaib. 
Kedua, perbedaan diantara dua pekerjaan, yakni pekerjaan para ulama dan para wali. Pekerjaan para ulama bekerja dalam mengusahakan ilmu itu sendiri dan menariknya kedalam hati, sedangkan para wali sufi mereka bekerja dengan cara menjernihkan hati, atau tazkiyah an-nafs saja. Perumpamaan yang dikedepankan oleh Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumudin antara para wali dan ulama dalam memperoleh ilmu, yaitu dengan mencontohkan pekerjaan orang Cina dan Orang Romawi, dalam mengukir dan menggambar dihadapan raja. Raja tersebut memutuskan untuk menggambar sesuatu. Orang Cina mengukir satu sisi dan orang Romawi mengukir disisi lainnya, setelah pekerjaannya selesai diperiksalah oleh raja tersebut, maka hasilnya sangat bagus, ternyata warna-warni yang indah dan ukiran-ukiran berkilauan dengan semakin bersinar dan semakin jernih, karena mereka menggosok selama pihak lainnya mengukir. Berdasarkan cerita tersebut, Para wali bekerja dengan membersihkan, mencemerlangkan hati , dan tazkiyah an-nafs, seperti yang diumpamakan orang Cina. Adapun pekerjaan para ulama dan hukama yaitu dengan berusaha dan mengukir ilmu dan menghasilkan ukirannya dalam hati, seperti yang dilakukan oleh orang Romawi. Bagaimanapun urusan permasalahan tersebut, maka hati orang mukmin tidak akan mati, dan ilmunya orang mukmin tidak akan terhapus dan kejernihan hatinya tidak akan pernah keruh.

2)             Pokok Pikiran Al-Ghazali dalam teks
فَالْاِشْتِغَالِ بِطَرِيْقِ التَّعَلُّمِ أَوْثَقُ وَأَقْرَبُ إِلٰى الْغَرْضِ. وَزَعَمُوْا أَنَّ ذٰلِكَ يُضَاهِيْ مَا لَوْ تَرَكَ الْإِنْسَانُ تَعَلُّمَ الْفِقْهِ. وَزَعَمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَتَعَلَّمْ ذٰلِكَ وَصَارَ فَقِيْهاً بِالْوَحْيِ. وَالْإِلْهَامُ مِنْ غَيْرِ تَكْرِيْرٍ وَتَعْلِيْقٍ وَأَنَا أَيْضاً رُبَّمَا اِنْتَهَتْ بِيْ الرِّيَاضَةُ وَالْمُوَاظَبَةُ إِلَيْهِ وَمَنْ ظَنَّ ذٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَضَيَّعَ عُمْرَهُ، بَلْ هُوَ كَمَنْ يَتْرُكُ طَرِيْقَ الْكَسْبِ وَالْحَرَاثَةِ رَجَاۤءَ الْعُثُوْرِ عَلٰى كَنْزٍ مِنَ الْكُنُوْزِ، فَإِنَّ ذٰلِكَ مُمْكِنٌ وَلٰكِنَّهُ بَعِيْداً جِدًّا؛ فَكَذٰلِكَ هٰذَا. وَقَالُوْا: لَا بُدَّ أَوَّلاً مِنْ تَحْصِيْلِ مَا حَصَلَهُ الْعُلَمَاۤءُ وَفَهْمِ مَا قَالُوْهُ ثُمَّ لَا بَأْسَ بَعْدَ ذٰلِكَ بِالْاِنْتِظَارِ لِمَا لَمْ يَنْكَشِفْ لِسَاۤئِرِ الْعُلَمَاۤءِ فَعَسَاهُ يَنْكَشِفُ بَعْدَ ذٰلِكَ بِالْمُجَاهَدَةِ.           
Artiya menyibukan diri dengan belajar itu lebih kuat dan lebih dekat kepada tujuan. Mereka mendakwa bahwa demikian itu menyerupai apa yang jikalau seseorang meninggalkan belajar fikih dan ia mendakwa bahwa Rasulullah tidak belajar fikih itu dan beliau menjadi ahli fikih dengan wahyu dan ilham tanpa mengulang ulang dan catatan dan saya juga kadang kadang sampai kepada demikian itu dengan latihan dan kerajinan. Barang siapa menduga demikian, niscaya ia telah menganiaya dirinya dan mensia siakan umurnya. Bahkan ia seperti orang yang meninggalkan jalan usaha dan bertani dengan harapan memperoleh suatu simpanan harta. Maka sesungguhnya demikian itu mungkin terjadi, tetapi itu jauh sekali. Maka begitulah ini. Mereka mengatakan bahwa tidak boleh tidak pertama pertama menghasilkan apa yang dihasilkan oleh para ulama dan memahami apa yang dikatakan mereka, kemudian tidak mengapa setelah itu menunggu apa yang tidak tersingkap bagi ulama ulama lain. Mudah mudahan setelah itu hal tersebut tersingkap dengan mujahadah.
Kesimpulannya bahwa menyibukan waktu dengan cara belajar itu lebih terpercaya dan mendekati pada tujuan. Pokok pikiran Al-Ghazali pada kalimat tersebut, ialah membedakan antara wali Allah dengan ahli nahzhor dalam hal mengungkapkan kebenaran. Para ahli tasawuf cenderung terhadap ilmu-ilmu ilhamai tanpa melalui ilmu-ilmu yang dipelajari, oleh karena itu mereka tidak bersungguh-sungguh mempelajari ilmu-ilmu yang dikarang oleh para pengarang, peneliti, serta dalil-dalil, akan tetapi mereka lebih mendahulukan pada cara mujahadah, membersihkan sifat-sifat tercela, serta memutuskan semua hubungan yang bersifat keduniaan. Sedangkan bagi para ahli nadzor yang memiliki pemikiran, untuk lebih menyibukan waktunya dengan cara belajar, karena dengan belajar akan lebih terpercaya dan mendekatkan pada tujuan yang dimaksud.

3)             Kehawatiran Al-Ghazali dalam teks
وَإِذَا لَمْ تَتَقَدَّمْ رِيَاضَةُ النَّفْسِ وَتَهْذِيْبِهَا بِحَقَاۤئِقِ الْعُلُوْمِ نَشَبَتْ بِالْقَلْبِ خَيَالَاتٌ فَاسِدَةٌ تَطْمَئِنُّ النَّفْسُ إِلَيْهَا مُدَّةً طَوِيْلَةً إِلٰى أَنْ يَزُوْلَ وَيَنْقَضِيَ الْعُمْرُ قَبْلَ النَّجَاحِ فِيْهَا، فَكَمْ مِنْ صُوْفِيٍّ سَلَكَ هٰذَا الطَّرِيْقَ ثُمَّ بَقِيَ فِيْ خَيَالٍ وَاحِدٍ عِشْرِيْنَ سَنَةً وَلَوْ كَانَ قَدْ أَتْقَنَ اْلعِلْمَ مِنْ قَبْلُ لَانُفْتَحُ لَهُ وَجْهُ الْتِبَاسِ ذٰلِكَ الْخَيَالِ فِيْ الْحَالِ                                                           
“apabila tidak didahului oleh latihan jiwa dan pendidikannya, dengan hakikat keilmuan, niscaya tumbuh pada hati hayalan-hayalan yang merusak, yang akan tenang jiwa kepadanya pada masa yang panjang, sampai ia hilang dan berlalulah umur sebelum memperoleh kemenangan pada yang demikian. Banyak orang-orang sufi yang menjalani jalan ini. Kemudian ia kekal dalam satu hayalan selama 21 tahun, jikalau ia sudah meneguhkan pengetahuannya dari sebelumnya, niscaya terbukalah sekarang juga segi kesangsian itu”.
Dari pendapat an-nadzor di atas, mengenai kekhawatiran yang muncul pada Al-Ghazali, dapat dipahami bahwa seseorang yang tajam pikirannya mengenai ilmu melalui ilham ialah: ketika hakikat perolehan ilmu tersebut tidak diawali dengan cara melatih jiwa dan pendidikannya, dapat menjadikan ilmu tersebut hanya sebagai hayalan-hayalan yang dapat merusak hatinya dan ketenangan jiwanya pada masa yang akan datang, sebelum ia berhasil mendapatkannya.  Oleh karena itu, apabila seseorang akan mempelajari ilmu tertentuh harus menguasai terlebih dahulu ilmu-ilmu yang ringan serta dibarengi dengan melatih jiwa melalui proses pendidikan yang sesuai dengan petunjuk dalam al-Quran atau Sunnah.

4)          Pendapat Al-Ghazali dan Perkataan Junaid, HAsan Asy-Syadili
a.         “Sesungguhnya titik hitam (dosa) yang berada pada hati -dari aspek kasyaf-, tentu tidak akan menerimanya, kecuali menyaksikan sendiri atas keseimbangan yang ada dalam kitab dan sunnah”.
b.     “Jika kasyaf bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah, tinggalkanlah kasyaf dan berpeganglah pada Al-Quran dan Sunnah. Katakan pada dirimu: Sesungguhnya Allah SWT menjamin keselamatan saya dalam kitabnya dan sunnah rasulnya dari kesalahan, bukan dari kasyaf, ilham, maupun musyahadah sebelum mencari kebenarannya dalam al-Quran dan sunnah terlebih dahulu”.
Berdasarkan dua pendapat di atas, maka pada prinsipnya sama, yaitu apabila seseorang akan mempelajari ilmu pengetahuan tertentu harus terlebih dahulu penguatan jiwa seseorang agar tidak terjadi hal-hal yang bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Sehingga apabila ada orang yang menguasai ilmu tertentu yang bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah maka segeralah untuk membuangnya dan segera berpegang teguhlah pada al-Quran dan Sunnah agar diselmatkan oleh Allah SWT.
Kesimpulannya, metodologi untuk mencapai taraf keilmuan-baik melalui kasyf maupun mencari ilmu dengan proses belajar-mengajar-itu harus sesuai dengan prosedur dalam Quran dan Hadits Muhammad. Cara cara untuk kasyf itu apa saja dan bagaimana tahapannya; ada dalam Quran dan Hadits. Begitupun untuk memperoleh ilmu melalui proses belajar-mengajar pun sama harus paham Quran dan Hadits. Artinya pencegahan noda hitam dalam hati ini bisa lebih dini dilakukan sejak lahir dengan memahami, mempelajari Quran dan Hadits, karena dengan sendirinya (paham Quran dan Hadits) noda hitam akan dihindari sendiri karena tahu larangan apa dan kewajiban apa yang ada dalam Quran dan Hadits, mana yang seharusnya dilaksanakan seperti sholat, berakhlak baik dalam kehidupan, berusaha dalam kasab, dan akan meninggalkan apa yang semestinya ditinggalkan seperti berdiam tidak berusaha, putus asa, hanya berdikir saja tanpa sholat dan tanpa berakhlak baik. Kesimpulannya bahwa perolehan ilmu semestinya dilakukan melalui dua metodologi di atas, yakni dengan ilham dan dengan belajar, sebagai muslim saya memastikan akan berdampak jauh lebih baik dibanding hanya memberlakukan salah satunya saja, dengan catatan bahwa segala aktifitas, kegiatan yang dilakukan dalam upaya ilham dan belajar ini harus sesuai dengan ajaran dan nilai Quran dan Hadits.

5)             Istilah istilah dalam kitab Manhaj Tarbiyah
(1)    منهج التربية الإسلامية
المنهج التربوي هو مجموع الخبرات والأنشطة التى تقدمها المدرسة تحت إشرافها للتلاميذ بقصد احتكاكهم بها وتفاعلهم معها، ومن نتائج هذه الإحتكاك والتفاعل يحدث تعلم أو تعديل في سلوكهم، ويؤدي هذا إلى تحقيق النمو الشامل المتكامل الذي هو الأسمى للتربية.
أما المنهج التربية الإسلامية نظام من الحقائق والمعايير والقيم الإلهية الثابتة، والمعارف والخبرات والمهارات الإنسانية المتغيره التى تقدمها مؤسسة تربوية إسلامية إلى المتعلمين فيها، بقصد إيصالهم إلى درجات الكمال التى هيأهم الله لها، وبذلك يستطيعون القيام بحق الخلافة في الأرض عن طريق الإسهام بإيجابية وفاعلية في عمارتها وترقية الحياة على ظهرها وفق منهج الله. إن منهج التربية الإسلامية "نظام" نابع من التصور الإسلامي للكون والإنسان والحياة، أي أنه بمفهومه وخصائصه، وأسس بنائه، وعناصره يكون كل متكاملا، كل جزء فيه يتأثر ببقية الأجزاء، ويؤثر فيه.

(2)    خصائص منهج التربية الإسلامية
أما الخصائص منهج التربية الإسلامية فهي كما يلي:
أولا: الربانية.
يقول الدكتور يوسف القرضاوي: إن المراد من الربانية هنا أمران: ربانية المصدر والمنبع وربانية الوجهة والغاية. المراد بالربانية المصدر والمنبع أن مقومات النظام الإسلامي نظام رباني "صادر من الله للإنسان وليس من صنع الإنسان". الإسلام هو منهج الله الذي تحكم به الحياة، وهو من خلق الله. وأما ربانية الوجهة والغاية كما قال يوسف القرضاوى أن الإسلام يجعل غايته الأخيرة وهدفه البعيد، وهو حسن الصلة بالله تبارك وتعالى والحصول على مرضاته. أن الإسلام غاية الوجود كله هي عبادة الله. بناء على ما سبق، فإن يترتب على الكون المنهج الإسلامي منهجا رباني المصدر والغاية، أنه منهج كامل متكامل، لا يقبل تنمية ولا تكميلا.
إن منهج التربية الإسلامية كمنهج الإسلامي العام، منهج رباني في مصدره وغايته، ولذلك فهو يزود الإنسان (المتعلم) بمجموعة الحقائق والمعايير والقيم الثابتة التى توجه عمله ونشاطه، بل وتعينه على عمارة الأرض وترقيتها وفق منهج الله.
ثانيا:  التوحيد
الخاصية الثانية من خواص منهج التربية في الإسلام خاصية التوحيد، التوحيد هو المقوم الأول للنظام الإسلامي، فو حقيقة أساس في العقيدة الإسلامية. وبالتوحيد يتفرد للنظام أو المنهج الإسلامي من بين سائر النظم والمناهج الإعتقادية والفلسفية السائدة في الأرض. التوحيد كان هو البارجة في كل دين جاء به من الله ورسوله. كما أنه كان "المقوم الأول" في دين الله كله.   
ثالثا: العالمية
الخاصية الثالثة من خواص منهج التربية في الإسلام العالمية. فالإسلام عقيدة ونظام الحكم الحياة. ولما كانت هذه العقيدة ربانية المصدر والغاية، وإنسانية الطابع، وخاتمة الرسالات السماوية، فهي عالمية.  معنى عالمية الإسلام أنه دعوة للجميع البشر، دعوة ليست عنصرية، ولا قومية، ولا محدود بحدود جغرافية أو إقليمية أو وقته.
رابعا: الثبات
الخاصية الثالثة من خواص منهج التربية في الإسلام هي الثبات. ويسمى أستاذ سيد قطب هذه الخاصية "الحركة داخل إطار ثابت وحول محور ثابت". فبما أن نظام الإسلامي نظام رباني، قائم على التوحيد، وظيفة الإنسان فيه هي التلقي والإستجابة والتكييف والتطبيق في واقع الحياة، وبما أنه ليس نتاج فكر بشري، وأنه هبة من خالق الإنسان للإنسان.... بما أنه كل ذلك، فهو يتميز بأنه نظام يقوم على "الحركة داخل إطار ثابت حول محور ثابت". ومن الجوانب الثابتة التى تمثل "المحور الثابت" الذي يدور حوله المنهج الإسلامي: كل ما يتعلق بالحقيقة الإلهية: كحقيقة وجود الله، وسرمديته، ووحدانيته، وقدرته، وتدبيره لأمر الخلق. وحقيقة أن الكون كله من خالق الله وإبدعه. وحقيقة العبودية لله، وحقيقة أن الإيمان بالله، وملائكته وكتبه ورسله، واليوم الآخر، والقدر خيره وشره، شرط لصحة الأعمال وقبولها.
خامسا: الشمول
الشمول هو طابع الصنعة الإلهية. وللشمول صور ثلاث:
أولى هذه الصورة وأكبرها رد الوجود كله بنشأته ابتداء، وحركته بعد نشأته، وكل انبثاقة فيه، وكل تحور وكل تغيير وكل تطور، والهيمنة عليه وتدبيره وتصريفه وتنسيقه إلى إرادة الذات الإلهية السرمديه الأزلية الأبدية المطلقة....
الصورة الثانية من صور خاصة الشمول في المنهج الإسلامي، هي أن النظام الإسلامي يتناول الحقائق الكلية كلها: حقيقة الألوهية، وحقيقة الكون، وحقيقة الحياة، وحقيقة العبودية، وحقيقة الإنسانية – ويربط بين مجموع تلك الحقائق، من جميع جوانبها، في تصور واحد منطقي فطري شامل، يتعامل مع بديهة الإنسان وفكره ووجدانه، ومع مجموع الكينونة البشرية في كل متكامل.
الصورة الثالثة من صور خاصة الشمول هي أن المنهج الإسلامي يخاطب الكينونة الإنسانية بكل جوانبها، وبكل أشواقها، وبكل حاجتها وبكل اتجاهتها.
سادسا: التوازن
التوازن هو الخاصية السادسة في النظام الإسلامي ومنهج التربية في الإسلام. وخاصية "التوازن" مترابطة مع خاصية "الشمول". فالنظام الإسلامي هو نظام شامل، وهو شمول متوازن.
للتوازن عدة صورة أهمها مايلي:
-      التوازن بين ما يدركه الإنسان فيسلم به، وينتهي عمله فيه عند التسليم، وبينما يتلقاه الإنسان فيدركه، ويبحث عن علله وبراهينه وغايته، ويفكر في مقتضياته العملية وتطبيقها في حياة الواقيعية.
-      التوازن بين طلاقة المشيئة الإلهية، وثبات السنن الكونية.
-      التوازن بين مجال المشيئة الإلهية الطليقة، ومجال المشيئة الإنسانية المحدودة، وهي القضية المشهورة باسم قضية "القضاء والقدرة" أو الجبر والاختيار.
-      التوازن بين عبودية الإنسان المطلقة لله، ومقام الإنسان الكريم في الكون.
-      التوازن بين مصادر المعرفة، بين التلقي من الوحي والنص، والتلقي من الكون الحياة.
سابعا: الإيجابية
للإيجابية صورتان- كما يقول الأستاذ سيد قطب-: الإيجابية الفاعلة في علاقة الله بالكون والحياة والإنسان، والإيجابية الفاعلة من ناحية الإنسان ذاته، في حدود مجاله الإنساني.
الصورة الأولى: في التصور الإسلامي ليس هناك شك في إيجابية الله –سبحانه- في علاقته بخلائقه كلها، ومنها الإنسان. فالإنسان "في التصور الإسلامي"يتعامل مع إله موجود، خالق، مدبر، مهيمن، قادر، فعال لما يريد ... كامل الإيجابية والفاعلية إليه يرجع الأمر كله.
الصورة الثانية: أيجابية الإنسان في الكون، وإيجابية المؤمن بهذه العقيدة في واقع الحياة على وجه خاص.
ثامنا: الواقعية
الواقعية أي التحقيق في عالم الواقع. فالمنهج الإسلامي هنا "يتعامل مع الحقائق الموضوعية، ذات الوجود الحقيقي المؤكد، والأثر الواقعي الإيجابي. لا مع الصورات عقلية مجردة ولا مع مثاليات لا مقابل لها في عالم الواقع؛ أو لاوجود لها في عالم الواقع.

(3)    مذهب فى الطبيعة الإنسانية
الطبيعة في المصطلح الغربي الذي قامت عليه مدارس علم النفس هناك: فهي الأشياء المادية المحسوسة حولنا من جماد وحيوان ونبات، ففي الإصطلاح اليوناني: الفيزيقا هي الطبيعة، و"الميتافيزيقا" ما وراء الطبيعة أي الأمور الغيبية وغير المحسوسة. كما يقول الدكتور محمد رشاد خليل  فقد أخدت الطبيعة معاني فلسفية لدي فلاسيفة الإغريق، وأصبحت هي الأساس في الفكر الغربي الحديث.
الطبيعة هي الجوهر المادي الأول الذي تصنع منه الأشياء، وهذا الجواهر المادي هو أصل الوجود، والعلة الأولى في وجود هذا الكون وهي عند أفلاطون المثال، وعلة الوجود، والنفس الكلية. وعند أرسطو هي أصل الأشياء ومصدر الحركة والمادة التي صنع منها الأشياء. وقد استخدمت الفلسفات الغربية الحديثة مفهوم الطبيعة بهذا المعنى الإغريقي القديم، فالطبيعيون والمثاليون والواقعيون يرون "الطبيعة هي الأشياء"، وهي القانون الطبيعي الذي يعمل في الأشياء. والطبيعة هي أصل الأشياء.
فاالطبيعة في الفلسفات الغربية ومدارس علم النفس القائمة عليها ليست من خلق الله، بل هي خالقة الكون وسبب وجود الأول.
الإنسان عند فرويد وعند التحليليين وعند الطبيعيين وعموما، فليس هو الإنسان المخلوق من الله، بل هو الحيوان المتطور عن الطبيعة التى هي أصل الأشياء وسبب وجودها، وهذا ما تدعيه نظرية التطور التى لا تعدوا.
الخير والشر في الطبيعة الإنسان
لقد اختلفت الفلسفات حول ما إذا كانت الطبيعة الإنسانية خيره أم شريرة. ويمكن بلورة الآراء التى طرحت في ثلاث نظريات مختلفة، فهي كما يلي:
الطبيعة الإنسانية شريرة:
اعتقد بعض الفلاسفة الغربيين أن الطبيعة الإنسان طبيعة شريرة أصلا، وأن الإنسان شرير بطبيعة غرائزه المتأصلة فيه، كما أن رغباته شريرة أكثر منها خيرة، ولهذا إذا ما تركناه حر يفعل ما يشاء، فإن سوف يسلك طريق السر لا محالة.
الطبيعة الإنسانية خيرة:
وهناك من الفلاسفة وعلى رأسهم سقراط- من نظر إلى الطبيعة البشرية على أن خيرة أصلا، وأن المجتمع هو المسئول عن كل مظاهر الشر والظلم في النفس البشرية، فغرائز الإنسان واستعدادته تقوده إلى فعل الخير والحق دائما. وقد قام هذا الاقتراض عند هؤلاء الفلاسفة على أساس أنه لا يمكن تصور أن الطبيعة الإنسانية التى نفخ الله فيها من روحه تكون شيئا مختلفا عن ذات الله.
الطبيعة الإنسانية إما سامية وإما وضيعية:
يقول محمد أحمد كريم، وهو يجمع في مجملة بين النظرتين السابقتين، إذا يعتبر أن الطبيعة الإنسانية هبة، وأن القلة قد وهبوا طبيعة إنسانية سامية، بينما الكثرة قد وهبت طبيعة الإنسانية تتسم بالوضاعة والشر.

(4)    علم النفس الإسلامى وعلم النفس الغربى
النفس في الإسلام هي جمع شخصية الإنسان. أما علم النفس الحديث فليس للانسان نفس مخلوق، وإنما له نفس طبيعة تصنعها الظروف والمؤثرات الخارجية.
إن علم النفس الإسلامي يتصادم مع علم النفس الغربي لاختلافتها في المصدر وفي الغاية، حيث إن علم النفس الإسلامي يتعامل مع الإنسان المخلوق الذى هو من خلق الله، في حين يتعامل علم النفس الغربي مع الإنسان الطبيعي الذي جاء نتيجة تطور الأحياء. وعلم النفس الإسلامي يتعامل النفس المخلوقة من مركب الروح والجسد متفاعلين، لكن علم النفس الغربي يتعامل مع النفس الطبيعة التى تصنعها الظروف والمؤثرات الخارجية. إذا كان علم النفس الإسلامي العام والتربوي قد صدرا من علم شامل محيط بالنفس الإنسانية من الأبد إلى الأزل، لأنه صادر من الخالق الذى يعلم من خلق وما تكون عليه أحواله في كل زمان ومكان، فإنه في علم النفس الغربي قد اعتمد على آراء ونظريات شتى.

(5)    من مبادئ التربية الإسلامية: التربيةوالتطورـــ والإنفتاح لخبرات الجماعات المختلفةـــ تحديد مجال العقل فى المحسوسة
‌أ.                    التربية والتطور
التطور سنة من سنن الحياة، وأن الله سبحانه وتعالى لا يتوقف عن إحداث الجديد في الكون ﴿كل يوم هو في شأن﴾، ولذلك يتوجب على الإنسان أن يتخطى حاجز الألفة والعادة ويتكيف مع الجديد من ﴿شؤون الله﴾ وإلا وقع في الخيرة والإضطراب. والأسلوب القرآني في هذا المجال يستغل الخبرات البشرية ليتدرّج الإنسان إلى ضرورة التكييف مع الجديد، فإذا كان ما ألفوا له بداية وأمكن حدوثه، فإن ما لم يألفوا يمكن حدوثه. والرسول الله صلى الله عليه وسلم لم يمنع استحدث ما يوافق هذا التطور، وانما اشترط أن يكون المستحدث الجديد موافقا للأصول الإسلاميّة حتى لا يصدم بسنن الخليقة
‌ب.               والإنفتاح على خبرات الجماعات الإنسانية المختلفة
يبدو هذا الانفتاح واضحا في قوله تعالى ﴿وفوق كل ذي علم عليم﴾
الاِنفتاح على خبرات الجماعات الأخرى يرتبط مع عقيدة الإسلام  نفسها، فمراجعة هذه الخبرات يساعد على أمرين: الأوّل التّعرّف على مكامن الخير وأصوله في كلّ جماعة لتنميتها والإستفادة منها في الحوار الدائر مع الإنسانية. والثاني التعرف على عوامل الانحراف والمرض في كل جماعة لشخصية وتحديد وسائل علاجه. وكل ذلك يساعد على تحقيق الأهداف البعيدة التى يعمل الإسلام من أجلها وهي توحيد الإنسانية واجتماعها على عبادة الله وتوطيد السلام والأمن حتى لا تكون فتنة ويكون الدين كله الله.
‌ج.                 تحديد ميدان العقل بما يقع تحت الحس
يجعل القرآن الكريم للتعلم والمعرفة منهجين: منهج الوحي ومنهج التجربية. أما منهج الوحي وهو يقتصر على الغيبيات التى لا تدخل تحت دائرة الحس. والقرآن الكريم يجعل نوعا من التلاحم بين المنهجين، فهو يستغل الحقائق التى يتوصل إليها منهج البحث والتجربة لدعم المبادئ المعتقدات التى يقررها منهج الوحي مستندا بذلك إلى ما ذكرناه عن تكامل العلم والإيمان.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar