ISLAMKU ISLAMMU ISLAM KITA
diambil dari NU Online
Oleh KH Abdurrahman Wahid
Saat
membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan kepada sejumlah
penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam
sekian banyak diskusi, penulis mendapati pandangan-pandangannya sendiri
tentang Islam yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar.
<>Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang
menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat”,
seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul
Muslimin di Jombang, dalam tahun-tahun 50- an. Kemudian, penulis
mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-tahun
60-an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah) di
Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun-tahun 70-an penulis melihat
Islam sebagai jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling
mengambil berbagai ideologi non-agama, serta berbagai pandangan dari
agama-agama lain.
Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal
sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan
pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan
pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri.
Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak
kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa
hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi
orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan
demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri
yang berbeda dari pemikiran orang lain.
Dari kenyataan itulah,
penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan
dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai
“Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami
sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa
memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan
terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh
keindahan semula dari pandangannya sendiri.
***
Dalam
berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap
pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan
karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah
rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya,
pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain
tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu
diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irrasional
itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.
Tradisionalisme
agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan
oleh Marshall McLuhan seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”.
Ini bisa dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana
selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasuruan,
tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke
kota tersebut dengan mengenakan seragam masing-masing, yang dibeli dari
hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari
rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka
pun lalu pulang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang-rombongan
lain.
Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan kematian
Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkankan, orang
datang berduyun-duyun ke alun-alun Tuban, membawa tikar/koran dan
minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah
tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para
penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja-kursi ala
kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar,
adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pikiran pengunjung memang
demikian, dan itu adalah kenyataan —yang dalam pandangan mereka “tidak
terbantahkan”. Nah, “kebenaran” yang diperoleh seperti ini adalah
sesuatu yang didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman.
Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar
penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang
melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.
***
Sementara
itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada
keharusan-keharusan rasional untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika
kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti
pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan”
seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”,
karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri
yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap
sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran
tentang masa depan Islam.
Pandangan seperti ini, yang
mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia
dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama
tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan
bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup
“Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib
kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.
Kesulitan
dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan
mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan
bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam
Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak
dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala
sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk
pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan
sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan
kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan
“ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan
sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan
“Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak
Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang
sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum
muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai
“Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan
pandangan? Cukup jelas, bukan?
*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute).
Oleh KH Abdurrahman Wahid
Saat membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak diskusi, penulis mendapati pandangan-pandangannya sendiri tentang Islam yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar. <>Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di Jombang, dalam tahun-tahun 50- an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-tahun 60-an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah) di Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun-tahun 70-an penulis melihat Islam sebagai jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, serta berbagai pandangan dari agama-agama lain.
Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.
Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.
***
Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irrasional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.
Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasuruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke kota tersebut dengan mengenakan seragam masing-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pulang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang-rombongan lain.
Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan kematian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkankan, orang datang berduyun-duyun ke alun-alun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja-kursi ala kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pikiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan —yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “kebenaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.
***
Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada keharusan-keharusan rasional untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam.
Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.
Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan?
Saat membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak diskusi, penulis mendapati pandangan-pandangannya sendiri tentang Islam yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar. <>Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di Jombang, dalam tahun-tahun 50- an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-tahun 60-an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah) di Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun-tahun 70-an penulis melihat Islam sebagai jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, serta berbagai pandangan dari agama-agama lain.
Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.
Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.
***
Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irrasional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.
Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasuruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke kota tersebut dengan mengenakan seragam masing-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pulang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang-rombongan lain.
Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan kematian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkankan, orang datang berduyun-duyun ke alun-alun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja-kursi ala kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pikiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan —yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “kebenaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.
***
Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada keharusan-keharusan rasional untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam.
Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.
Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan?
*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar